Andaikan Saat Itu Aku Punya Tabungan – Orang bilang hidup itu indah. Betul, hidup akan terasa indah sepanjang tidak berada di bawah, tidak dalam himpitan ekonomi yang berat dan ada nasi yang bisa dimakan walau hanya dengan garam atau kecap manis. Tetapi, masihkah akan mengatakan hidup itu indah bila perut lapar, anak dan keluarga makan sebungkus mie instant untuk bersama ?
Saya sempat tidak percaya ketika suami memutuskan mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja pertengahan tahun 2014, demi menuruti gairah dan keinginannya membuka usaha sendiri alias berwiraswasta. Bagaimana tidak kaget, saya tahu betul bagaimana suami telah bekerja keras, mendedikasikan diri untuk pekerjaannya hingga mencapai posisi sebagai general manager, posisi yang dikehendaki oleh kebanyakan karyawan, tetapi dengan mudahnya dia melepaskan begitu saja lewat sepucuk surat berperihal resign.
Sumpah ! aya tidak mengerti jalan pikiran suami dan sempat ngambek karenanya. Bayangan-bayangan buruk mulai menari-nari di benakku. Bagaimana kehidupan keluarga nanti, bagaimana bayar PP anak-anak, bayar listrik, PAM, telepon dan segala sesuatunya. Padahal gaji suami adalah satu-satunya pemasukan untuk kehidupan keluarga.
“Saya tidak bisa hidup dalam dunia yang besar, Ma. Di luaran sana penuh dengan perangkap kehidupan. Sekuat-kuatnya iman, saya takut kepleset juga dan jauh dari Tuhan. ebelum itu terjadi, saya memutuskan untuk memilih dunia yang kecil saja. Saya ingin ketenangan hidup. Lebih dari itu, keinginan untuk berwiraswasta sudah sedemikian mengganggu konsentrasiku.”
Oh, spontan saya memeluk suami menangis sejadi-jadinya dan meminta maaf setelah suami menjelaskan alasan yang sebenarnya.
MENYESAL ! KENAPA TIDAK MENYISIHKAN PENGHASILAN SUAMI UNTUK DITABUNG (INVESTASI)
Memang di puncak karir suami, secara materi kami tidak kekurangan. Gaji, bonus, insentif dan tunjangan-tunjangan yang lain yang saya kelola lebih dari cukup untuk kehidupan keluarga, bahkan bisa membantu saudara-saudara yang membutuhkan.
Tetapi saya juga merasakan bahwa kehidupan suami menjadi “tidak normal”. Loyalitas dan dedikasinya yang begitu tinggi hingga hidupnya hanya dicurahkan untuk pekerjaan, begitu setiap harinya terus menerus selama hampir lebih dari 5 tahun.
Pulang sering telat, interaksi dengan keluarga (anak-anak) berkurang dan ibadah menjadi tidak tertib. Dalam keadaan hari libur pun Si Bos tetap menilponnya untuk keperluan ini dan itu. eolah-olah kehidupan suami sudah tergadaikan dengan pekerjaannya. Mau tidak, suka tidak suka karena keputusan resign sudah diambil dengan alasan yang sudah suami utarakan, maka sebagai seorang istri saya hanya bisa mendukung apa maunya suami.
Walaupun demikian, rasa cemas masih membayangiku. elain saya dan suami tidak punya pengalaman berwirawasta, modal yang dibutuhkan tentu saja besar. Lalu modal dari mana, sedangkan uang “tali asih” jumlahnya tidak seberapa karena suami bukan di PHK tetapi mengundurkan diri.
Dalam kondisi ini, diam-diam saya merasa bersalah dengan suami. Pasalnya ketika masih diberi kelancaran rejeki saya lalai, tidak menyisihkan penghasilan untuk ditabung (investasi). Uang lari ke sana kemari hanya untuk memenuhi kebutuhan tanpa berfikir bahwa kondisi bisa berubah kapanpun juga. selebihnya adalah dipinjam saudara yang sedang kesusahan tanpa batas waktu pengembalian.
Lagian saya dan suami mana tega menagihnya. Bahkan lebih baik mengiklaskan daripada menagihnya.
“Sudahlah ma tidak ada yang perlu dikwatirkan. Mari kita memulai hidup baru. semoga diberi kemudahan. Papa yakin semua pasti ada jalannya ” Begitu kata suami. etidaknya ini sedikit menenangkanku.
KALANG KABUT, MULAI MENJUAL BARANG-BARANG KELUARGA
Kalau hanya sekedar warung makan biasa di depan rumah, ternyata dana yang dibutuhkan lumayan besar. Uang tali asih suami tidak mencukupi sama sekali. Kondisi ini diperparah dengan tidak adanya tabungan sedikitpun. Akhirnya kami mulai menjual barang-barang berharga yang kami miliki. Barang pertama yang terjual adalah mobil. Dulunya i Onta, begitu kami memanggilnya, ini memang jarang dipakai karena ketika suami masih bekerja ia mendapatkan inventaris mobil sesuai dengan jabatannya.
Seiring pengunduran diri suami, inventaris juga harus dikembalikan ke perusahaan dan i Onta inilah yang menjadi transportasi utama keluarga. ayang sekali harus dijual untuk modal usaha. Mau bagaimana lagi.
Uang hasil penjualan mobil ini nyaris tidak tersisa untuk membangun warung, membeli perlengkapan, cetak publikasi, memenuhi kebutuhan sehari-hari serta untuk keperluan sekolah anak-anak. Walaupun demikian saya senang ketika warung akhirnya berdiri dan mulai beroperasi. Tetapi memulai berwiraswasta memang berat apalagi saya dan suami tidak punya pengalaman sebelumnya.
Hingga sebulan setelah warung berdiri pembeli yang datang bisa dihitung dengan jari. Padahal menu yang dibuat suami tergolong murah meriah dan terjangkau untuk semua kalangan. oto Kudus cuman Rp. 6.000, Penyetan rata-rata Rp. 10.000. Menu-menu yang lain harganya juga tidak jauh berbeda.
Segala cara telah kami coba termasuk memasang ulang banner, panflet dan material promosi lainnya. Tetapi tidak memberi dampak yang signifikan.
Minggu-minggu selanjutnya justru semakin parah. Karena tidak ada pemasukan yang memadai hingga kami hanya makan mie instant dengan nasi putih, kadang lauknya hanya ikan asin atau kalau ada sisa nasi kami goreng untuk makan sekeluarga.
Untuk tetap mempertahankan hidup, kami menjual televisi tabung model lama. Televisi ini adalah pemberian ayah mertua dulu ketika tinggal di Mayong Jepara. Uang hasil penjualan yang tidak seberapa ini pun habis dalam beberapa hari. Kondisi warung belum menunjukkan perubahan sama sekali. Walaupun demikian, saya dan suami tetap bersabar, perfikir positif dan selalu berdoa agar ditunjukan jalan kemudahan oleh-Nya.
Lagi dan lagi… kami kembali menjual barang-barang agar keluarga tetap bisa makan. Berturut-turut barang yang terjual adalah sepeda kesayangan i Bungsu Yunda dan netbook yang biasa dipergunakan mengerjakan tugas-tugas i ulung Arya dan beberapa tabung gas melon yang kami miliki.
Kami benar-benar di titik nazir, titik paling bawah secara ekonomi. Hidup berbalik berbalik 180 derajat. Kami seperti berjalan menuruni tebing yang terjal, berbatu dan curam. eolah olah semua menjadi sulit dan berat.
Dalam keadaan seperti ini, saya kembali menyalahkan diri sendiri, kenapa dulu tidak membiasakan diri menyisihkan pendapatan suami untuk ditabung. Menyesal sekali !
Hampir setahun lamanya kami menjalani hidup yang tidak pasti ini. aya sedih sekali dan ingin segera mendapat solusi dari semua permasalahan ekonomi keluarga. uamilah yang selalu menasehatiku untuk tetap bersabar dan berdoa.
Hikmahnya adalah kami jadi lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, selalu menangis dalam setiap doa yang dipanjatkan. Terlebih karena berwiraswasta memang sudah dikehendaki suami, maka kami tetap berharap kemudahan dari ang Pencipta.
PERTOLONGAN DATANG & TITIK BALIK
Tuhan memang Maha Penyayang dan tidak sekalipun meninggalkan hambanya dalam keadaan terhina dan kekurangan. Itu keyakinan saya. Di saat kami menangis dalam setiap doa-doa, Tuhan menjawabnya.
uatu ketika tanpa sengaja saya membuka salah satu akun socmed yang telah lama tidak saya update. Dalam socmed tersebut saya melihat postingan banner lomba blog yang diadakan oleh sebuah universitas nasional di Jakarta. aya seperti digerakkan agar mengikuti lomba tersebut padahal deadlinenya tinggal sehari.
Akhirnya saya buat sebagus mungkin dengan data selengkap-lengkapnya kemudian saya email hasil postingan blog kepada panitia.
Nothing to lose, saya tidak berfikir untuk menang. aya sadar diri karena lomba blog tersebut juga diikuti juga para blogger yang sudah ternama. Atas ijin Tuhan YME setelah seminggu menunggu pengumuman, saya kaget setengah mati dan gembira bukan kepalang kalau tulisan blog saya muncul sebagai juara pertama dan berhak atas hadiah sebesar Rp 4 juta.
Uang hadiah lomba itu ditransfer beberapa hari setelah pengumuman. Akhirnya sebagian kami pergunakan untuk menghidupkan kembali warung makan yang kami rintis mulai dari mengubah menu hingga publikasi dan sebagian lagi saya tabung di rekening bank saya. Ini adalah titik balik dari apa yang telah kami alami sebelumnya.
Kini warung makan yang kami kelola sudah lumayan ramai dan mampu menopang ekonomi keluarga. Bahkan saya bisa menyisihkan hasil keuntungan untuk di tabung. Saya dan suami bersyukur sekali. Rupanya seperti itu Tuhan emesta Alam menolong hambanya setelah ‘mengingatkan’ dengan kesempitan ekonomi yang menyesakkan dada terlebih dahulu.
AKHIR TULISAN
Pengalaman adalah guru yang utama, begitu kata pepatah. Itu betul. etidaknya apa yang telah telewati akan selalu menjadi ‘guru dan pengingat’, agar saya senantiasa berhemat, bersahaja dalam membelanjakan rejeki dan menyisihkan untuk ditabung demi masa depan yang lebih baik.
Bila anda saat ini sedang mengalami seperti apa yang telah saya alami, tetaplah sabar dan berdoa. Berdoa ibarat orang naik sepeda ke suatu tempat. etiap kayuhan kaki kita akan menghantarkan pada tempat yang kita tuju. Lain daripada itu nyakinlah juga bahwa bila satu pintu rejeki tertutup, Tuhan akan membukakan pintu rejeki yang lain.
Akhir kata, semoga pengalaman ini bermanfaat dan bisa menjadi inspirasi bagi siapa saja untuk kehidupan sejahtera. Jangan habiskan resources yang anda miliki hanya untuk memenuhi hajat hidup saat ini, sisihkan pendapatan anda untuk investasi. Itu akan sangat berguna.