Apa yang membedakan seorang sarjana dan lulusan SD ketika hendak membuka usaha atau bisnis ?
Fakta menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin analitis pemikirannya. Oleh karenanya, akan selalu mempertimbangkan segala sesuatu menurut logikanya. Bahkan cenderung menggunakan rumus-rumus tertentu seperti yang diajarkan dibangku kuliahnya dulu.
Bila seorang sarjana dan lulusan SD sama-sama berencana membuka warung Bakso atau Mie Ayam, misalnya, maka Si Sarjana dipastikan akan menghitung-hitung secara detail berdasarkan teori-teori ekonomi pemasaran. Minimal dalam benak Si sarjana akan membuat analisa berdasarkan teori-nya Philip Kotler, 4P (product, price, place, promotion). Si Sarjana akan memeras otak untuk mendapatkan kesimpulan terkait demand, kompetitor, analisa profit dan kawan-kawannya. Walaupun itu hanya sekedar membuka sepetak warung makan, bakso atau mie ayam.
Dalam kondisi kemampuan modal yang sama misalnya, lulusan SD apakah memikirkan hal itu? Apakah menganalisa dan mendasarkan pada teori-teori seperti yang dilakukan oleh Si Sarjana?
Saya sangat yakin bahwa lulusan SD hanya berfikir ala orang nekat ! Tidak banyak Teori ! Ada modal berapa langsung bertindak. Tidak perlu banyak pertimbangan dan analisa ini-itu. Laku atau tidak menjadi urusan nanti, yang penting mengatualisasikan ide dan pemikiran secara nyata dahulu.
Banyak cerita yang menujukkan, justru mereka tetap survive, berkembang bahkan menambah cabang atau minimal warungnya tambah besar. Tak sedikit juga dari mereka yang akhirnya sukses, berkecukupan dan bertitel haji atau hajjah. Artinya mereka “dimampukan” oleh Tuhan.
Jadi, yang membedakan antara seorang sarjana dan lulusan SD itu terletak pada masalah keberanian dan kenekatan untuk bertindak. Tidak terjebak pada paradigma teoritikal semata. Lihatah, akhirnya banyak orang bergelar sarjana yang akhirnya hanya bermental pegawai atau karyawan. Orang yang disuruh-suruh dengan gaji harian diberikan secara bulanan.