UNTUK VISUAL YANG MAKSIMAL,
SETTING SMARTPHONE MODE LANDSCAPE

Cita-cita setiap negara adalah menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warganya. Bagi negara kita, itu sudah dirumuskan para pendiri negara secara bijak dalam dasar negara Pancasila dan UUD 1945 mulai dari pembukaan hingga pasal-pasalnya.
Walaupun dalam irama yang berbeda-beda, Sejarah telah mencatat bahwa sejak jaman Presiden Soekarno hingga Jokowi upaya mencapai kesejahteraan rakyat terus berlanjut. Ini dimanifestasikan dalam bentuk pembangunan nasional berkelanjutan dengan tujuan akhir adalah pengentasan kemiskinan.
Memang bukan persoalan mudah mewujudkan cita-cita pembangunan itu. Negara ini pernah jatuh dalam kubangan lingkaran setan yang bernama penyalahgunaan kekuasaan, mismanajemen dan korupsi yang berdampak sistemik, menunjukkan bahwa bangsa ini berdarah-darah dalam upaya menciptakan kesejahteraan rakyat.
Kejadian luar biasa itu pun menjadi stigma negatif hingga saat ini. Tidak mudah dilupakan begitu saja. Terlebih nyata-nyata hingga saat ini masih saja ada perilaku korup oknum yang menggerogoti harta kekayaan dan keungaan negara, yang kita tahu bahwa kekayaan tersebut juga merupakan kekayaan seluruh rakyat Indonesia.

Keuangan Negara, Asal dan Peruntukannya
Ada banyak penjelasan keuangan negara baik dari segi undang-undang maupun pendapat ahli.
Umumnya pemahaman tentang keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Kalau merujuk pada KMK No. 225/1971, KMK No. 350/1994 dan KMK No. 470/1994, pengertiannya adalah aset atau harta negara adalah barang tidak bergerak (tanah dan/atau bangunan) dan barang bergerak (inventaris) yang dibeli atas beban APBN dan perolehan lain yang sah, dimiliki/dikuasai oleh instansi pemerintah lembaga pemerintah non departemen, badan badan, tidak termasuk kekayaan yang dipisahkan dan bukan kekayaan Pemda.
Sedangkan menurut UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, pengertian aset atau harta negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang atau barang yang dapat dijadikan sebagai milik negara.
Dari rujukan ini dapat kita simpulkan bahwa sejati keuangan negara itu jumlahnya besar sekali bahkan nilainya tidak terbatas.
Lalu, dari mana keuangan negara ?
Keuangan negara tidak hanya berupa uang. Bisa dari mana saja seperti sumber bangunan, kekayaan alam yang ada di wilayah negara, pajak, penerimaan bukan pajak, hibah dan sumber-sumber lain yang dapat dinilai dengan uang.

..Dan, untuk siapa ?
Telah disebutkan diatas, bahwa ada hak dan kewajiban negara negara dalam pengelolaan keuangan negara. Pemerintah yang mendapat amanat dari rakyat, menggunakannya untuk mewujudkan cita-cita pembangunan nasional yakni menuju masyarakat adil, makmur dan sejahtera. Salah satu indikasinya adalah menipisnya kesenjangan sosial dan kemiskinan.
Dalam gambaran yang lebih sederhana dan mudah dipahami, keuangan negara yang berasal dari berbagai sumber tersebut di kelola dan dibelanjakan oleh negara melalui mekanisme tertentu dalam APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) setiap tahunnya.
Dan ini loh, contoh global penggunaan keuangan negara yang dirumuskan dalam APBN 2018 yang perlu kita ketahui, karena kita adalah pemiliknya.
Keuangan Negara Jumlahnya Tak Terbatas, Siapa Yang Mengawal Pemakaiannya ?
Ini adalah pertanyaan serius mengingat harta, kekayaan dan keuangan negara jumlahnya besar dan tak terbatas. Tetapi ini juga pertanyaan retoris.
Tentu saja, kalau kita merasa bahwa harta negara adalah harta seluruh rakyat, maka yang mempunyai kepentingan untuk menjaga, memeriksa dan mengontrolnya tentu saja adalah seluruh rakyat Indonesia.
Namun, karena negara ini digerakkan oleh lembaga-lembaga negara maka maka ada satu lembaga khusus yang mendapat amanat rakyat sebagaimana tersebut Undang-Undang Dasar 1945 yakni BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Artinya, rakyat bersama BPK Kawal Harta Negara agar pengelolaan keuangan negara bersih, transparan dan bertanggung jawab demi kesejahteraan rakyat.
Urgensi Pemeriksaan Keuangan Negara
Negara ini didirikan oleh rakyat. Pemerintah adalah pemegang amanat rakyat. Jadi, segala sesuatu yang dimilikinya adalah milik rakyat dan harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat pula.
Bila keuangan negara tidak diperiksa maka besar kemungkinan terjadi penyimpangan penggunaan uang negara tersebut, baik dengan untuk tujuan memperkaya diri atau karena sekadar mismanajemen. Ini kejadian baik di masa lalu maupun saat ini.
Selanjutnya, pemeriksaan keuangan negara juga menjadi “pesan” yang harus dipahami oleh pihak-pihak yang mengelola uang Negara agar benar-benar menyadari bahwa mereka tidak dapat memanfaatkan uang yang dipercayakan rakyat tersebut secara tidak bertanggung jawab.
Lain daripada itu, pemeriksaan keuangan negara dilakukan agar pemanfaatnya terkontrol dan tepat sasaran serta setiap pihak yang mengelola uang negara menjalankan amanat rakyat dengan cara yang sebaik-baiknya sehingga membawa manfaat sebesar-besarnya bagi rakyat.

BPK Kawal Harta Negara, Apa Dasar Hukumnya ?
BPK adalah sebuah lembaga negara yang yang mendapatkan mandat seluruh rakyat Indonesia untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Dengan jumlah yang tak terbatas, peran dan tugas BPK Kawal Harta Negara sangat berat. Bila diuraikan, peran dan tugas pokok BPK dapat dijelaskan dalam dua hal yakni :
Pertama, BPK memeriksa semua asal-usul dan besarnya penerimaan negara, dari manapun sumbernya;
Kedua, BPK juga harus mengetahui tempat uang negara itu disimpan dan untuk apa uang negara itu digunakan.
Dalam menjalankan peran dan tugasnya tersebut, tentu saja BPK mempunyai dasar hukum serta landasan operasional yang yang sah sesuai undang-undang.
Dasar hukum utama adalah Undang Undang Dasar 1945 Pasal 23 ayat (5) yang menjelaskan bahwa untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan, yang peraturannya ditetapkan dengan undang-undang.
Mari kita lihat dulu dasar-dasar hukum dan operasional KPK dari mulai dibentuk 1 Januari 1947 hingga saat ini. Timeline berikut ini akan menjelaskan semuanya. Check it out !
Reformasi BPK, Kemandirian !
Apakah BPK mandiri ? Tidak, tapi itu dulu sebelum reformasi. Di masa Orde Lama dan Orde Baru, BPK tidak mandiri. Walau legalitasnya sejajar dengan presiden, tapi dalam prakteknya BPK tidak mempunyai kemandirian sama sekali dan berada di bawah tekanan serta kendali eksekutif saat itu.
Kendali eksekutif pada BPK tercermin dalam hal pemilihan anggota, pengaturan organisasi, SDM, penetapan anggaran, pembatasan objek pemeriksaan dan penetapan metodologi pemeriksaan. Di masa itu, pemutahiran laporan pemeriksaan BPK dikonsuiltasikan dengan pemerintah agar tidak menganggu stabilitas politik.
Nah, pasca reformasi 1998, BPK benar-benar mandiri tanpa “kontaminasi” pemerintah. Merujuk pada timeline di atas, kemandirian BPK termaktub dalam amandemen terhadap UUD 1945 yang ditetapkan pada 10 November 2001 yang memuat ketetapan yang lebih tegas mengenai posisi BPK.
Dalam amandemen tersebut, dinyatakan bahwa BPK adalah badan yang “bebas dan mandiri” sebagaimana tersebut dalam Pasal 23E yang berbunyi,
“Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”
Perubahan penting lainnya dalam amandemen tersebut adalah ditambahkannya ketetapan bahwa yang diperiksa BPK bukan saja “tanggungjawab tentang keuangan negara” melainkan juga “pengelolaan keuangan negara”.


Dengan pasal 23E Aamandemen UUD 1945 ini pula, menempatkan kedudukan BPK sejajar dengan Presiden.
Kesejararan ini penting karena menghindari konflik kepentingan karena BPK mempunyai tugas berat memeriksa pengelolaan keuangan negara yang dijalankan pemerintah dan lembaga-lembaga ketatanegaraan di bawah Presiden, baik pada pemerintahan di tingkat pusat maupun pemerintahan
daerah;
Kesejajaran ini juga sangat diperlukan dalam rangka upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
Selain Amandemen UUD 1945, kemandirian dan kesejajaran BPK juga diatur dalam UU No. 15 tahun 2006 menjelaskan bahwa BPK harus berposisi sebagai lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan professional.
Kebebasan dan kemandirian BPK sebagaimana dijabarkan dalam UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara serta UU No. 15 tahun 2006 meliputi hal-hal sebagai berikut :
Pertama, Kebebasan dan kemandirian di bidang pemeriksaan (pasal 6 UU No. 15/2004 dan pasal 9 ayat (1) huruf a UU n. 15/2006), yaitu bahwa “Penentuan objek pemeriksaan, perencanaan dan pelak-sanaan pemeriksaan, penentuan waktu dan metode pemeriksaan, serta penyusunan dan penyajian laporan pemeriksaan dilakukan secara bebas dan mandiri oleh
BPK”.
Kedua, Kebebasan dan kemandirian di bidang Organisasi dan Sumber Daya Manusia, tercermin melalui kewenangan BPK untuk menetapkan tata kerja pelaksanaan BPK dan jabatan fungsional pemeriksa (pasal 34 UU No. 15/2006), yaitu bahwa: “Tata kerja pelaksana BPK serta jabatan fungsional ditetapkan oleh BPK setelah berkonsultasi
dengan pemerintah”.
Selain kemandirian dalam hal kedudukan, peran dan tugasnya dalam mengawasi serta memeriksa keuangan negara, BPK juga sangat mandiri secara kelembagaan.
Dulu, BPK diangkat oleh Presiden atas usul DPR. Sekarang, pimpinan BPK dipilih dari dan oleh anggota BPK sendiri tanpa melibatkan Presiden dan DPR.
Begitu pula dengan laporan hasil kerja. Jaman dulu hasil laporan pemeriksaan BPK dikonsultasikan dengan pemerintah (Presiden) sebelum diserahkan ke DPR. Sekarang, laporan pemeriksaan disampaikan langsung ke DPR tanpa melalui konsultasi dengan Presiden.
Intinya, saat ini BPK benar-benar sudah independen, mandiri, profesional dan mempunyai integritas baik secara tupoksinya, kedudukannya dengan lembaga negara lain maupun secara kelembagaan di internal BPK. Jelas ini berbeda dengan BPK jaman pemerintahan Order Lama maupun Order Baru yang selalu membatasi dalam segala aspeknya.

Apa-Apa Yang Diperiksa BPK
Pemeriksaan keuangan negara oleh BPK telah diatur oleh undang-undang. Yang lebih tepat menjelaskan hal-hal apa saja yang diperiksa oleh BPK adalah UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara.
Pemeriksaan keuangan oleh BPK dilakukan sesuai mekanisme tertentu mulai dari proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi berdasarkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan BPK setelah berkonsultasi dengan pemerintah, akademisi dan praktisi.
Proses pemeriksaan pun dilakukan secara independen, obyektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.
Pemeriksaan yang lakukan oleh BPK tidak selalu dilakukan sendiri, dalam kasus tertentu juga melibatkan akuntan publik atau tenaga ahli lainnya bahkan diperiksa oleh badan pemeriksa negara lain yang menjadi anggota pemeriksa keuangan sedunia.
Dari hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, mungkin kita akrab dengan hasil pemeriksaan yang disebut Opini. Nah, apa itu Opini ?
Opini adalah merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang didasarkan pada empat kriteria yakni kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintahan, kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan efektivitas sistem pengendalian intern.
Dari hasil pemeriksaan keuangan BPK Terdapat 4 (empat) opini yakni Wajar Tanpa Pengecualian (unqualified opinion), Wajar Dengan Pengecualian (qualified opinion), Tidak Wajar (adversed opinion) dan terakhir adalah Menolak Pemberian Pendapat (disclaimer of opinion).
BPK menekankan pada opini WTP karena ini penilaian tertinggi atas kualitas pengelolaan keuangan negara yang menjamin bahwa informasi keuangan telah wajar disajikan sesuai standar akuntansi pemerintahan.
Temuan BPK dan Kesejahteraan Rakyat
Bila negara ini dianalogikan sebagai bumi, maka BPK beserta unsur penegakan hukum adalah atmosfir yang selalu menjaga penghuninya dari hantaman meteor-meteor yang merusak dan menimbulkan bencana.
“Meteor-meteor” itu buta tidak punya mata dan hati nurani serta berpotensi menjauhkan rakyat dari kesejahteraan karena entah sengaja atau tidak memakan uang rakyat, mismanajemen, ketidakhematan, ketidakefisienan dan lain sebagainya.
Betul, kerugian negara akibat laporan keuangan negara dan daerah yang ditemukan BPK memang tidak semuanya dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum alias korupsi. Tetapi potensi kerugian yang didapatkan dari pemeriksaan BPK jelas-jelas menghambat pembangunan nasional yang membutuhkan keuangan yang besar demi kesejahteraan rakyat.
Selain itu, temuan tersebut akan tetap dicatat dalam Laporan Hasil Pemeriksaan. Hasil laporan tersebut juga akan mempengaruhi opini yang diberikan BPK terhadap pihak yang diperiksa.
Pada tahun 2016, dari hasil pemeriksaan BPK telah memberikan opini WTP atas LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat). Sebelumnya BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Peningkatan opini dari WDP menjadi WTP karena pemerintah telah menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK atas LKPP Tahun 2015 dengan beberapa pengecualian.
Terhadap LKKL (Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga) dan LKBUN (Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara), BPK telah memeriksa 86 LKKL dan 1 LKBUN Tahun 2016 yang telah diperiksa juga oleh Kantor Akuntan Publik.
Dari hasil pemeriksaan tersebut didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa 73 LKKL (termasuk LK BPK) dan 1 LKBUN memperoleh opini WTP, 8 LKKL memperoleh opini WDP dan 6 LKKL memperoleh opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP).
Di tingkat pemerintahan daerah atas LKPD (Laporan Keuangan Pemerintahan Daerah), pemeriksaan terhadap 537 LKPD Tahun 2016 mengungkapkan opini WTP atas 375 (70%) LKPD, opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) atas 139 (26%) LKPD, dan opini Tidak Menyatakan Pendapat (TMP) atas 23 (4%) LKPD.
Sedangkan berdasar tingkat pemerintahan, opini WTP dicapai oleh 31 dari 34 pemerintah provinsi (91%), 272 dari 415 pemerintah kabupaten (66%), dan 72 dari 93 pemerintah kota (77%).
Capaian opini tersebut telah melampaui target kinerja keuangan daerah bidang penguatan tata kelola pemerintah daerah/ program peningkatan kapasitas keuangan pemerintah daerah yang ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 masing-masing sebesar 85%, 60%, dan 65% di tahun 2019.
Terkait dengan temuan-temuan yang terindikasi merugikan keuangan negara dan tindak pidana, selama periode 2003 sampai dengan 30 Juni 2017, BPK telah melaporkan 447 temuan berindikasi pidana senilai Rp 44,74 triliun kepada Kepolisian RI, Kejaksaan RI, dan KPK sebagai aparat penegak hukum.
Dari jumlah temuan itu, 425 temuan senilai Rp 43,22 triliun (97%) telah ditindaklanjuti. Selama periode 2013 sampai dengan 30 Juni 2017, BPK telah menerbitkan laporan hasil pemeriksaan penghitungan kerugian negara sebanyak 120 kasus senilai Rp10,37 triliun dan US$2,71 miliar atau ekuivalen dengan Rp 46,56 triliun.
Pada Semester I tahun 2017 itu pula, BPK telah menyelamatkan keuangan negara senilai Rp13,70 triliun. Jumlah ini berasal dari penyerahan aset/penyetoran ke kas negara, koreksi subsidi, dan koreksi cost recovery.
Jumlah yang sangat besar sekal, bukan? Beruntung sekali uang tersebut “ditemukan BPK”. Bisa dibayangkan betapa sebuah kehilangkan besar bila uang sejumlah itu tidak terdeteksi.
Dengan temuan tersebut bisa dikatakan bahwa BPK telah memberi kontribusi besar bagi kesejahteraan rakyat karena uang tersebut dapat dipergunakan untuk membangun infrastruktur, mengentaskan kemiskinan, meningkatkan mutu pendidikan dan memberikan jaminan kesehatan masyarakat.
Mencermati sekali lagi tentang hasil pemeriksaan keuangan negara semester 1 tahun 2017 baik pusat maupun daerah bahwa BPK telah mengungkap 3 (tiga) hal sebagai berikut :
Hasil pemeriksaan atas kinerja memuat kesimpulan kinerja yang cukup
efektif.
Ini menarik menurut saya karena walaupun hasil pemeriksaan atas kinerja laporan keuangan pemerintah pusat dan daerah mendapat hasi kesimpulan kinerja yang cukup efektif, namun dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan (IHSP) Badan Pemeriksa Keuangan telah mencatat 14.997 permasalahan dari 9.729 temuan.
Bila dinilai uang, permasalahan yang ditemukan BPK mencapai Rp 27.39 triliun. Jumlah yang sangat besar, bahkan melebih pengembalian uang ke negara oleh KPK yang hanya Rp 276,6 miliar sepanjang tahun 2017 (kriminologi.id 28/12/2017).
Jumlah permasalahan yang ditemukan BPK tersebut meliputi 7.284 kelemahan sistem pengendalian intern (SPI), 7.549 ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku senilai Rp 25,14 triliun. Serta 164 permasalahan yang diakibatkan oleh ketidakhematan, ketidakefisienan, dan ketidakefektifan senilai Rp 2,25 triliun.
IHSP BPK ini merupakan ringkasan dari 687 Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) yang terdiri atas 645 LHP keuangan, 9 LHP kinerja, dan 33 LHP dengan tujuan tertentu.
Ayo Dukung #BPKKawalHartaNegara
BPK memang bukan malaikat. Walaupun sekarang sudah mandiri, profesional dan jauh lebih baik dibanding ketika jaman Orla dan Orba, namum BPK hanyalah lembaga negara yang diisi oleh para profesional yang mengabdikan dirinya sebagai atmosfir bagi bumi yang disebut Indonesia.
Tugas BPK sangat berat dalam menyelamatkan keuangan negara dari ketidakefisenan, ketidakpatuhan pada perundang-undangan dalam pelaporan keuangan negara serta perilaku nelanggar hukum yang secara sengaja menjauhkan negara dari cita-citanya yakni mensejahterakan rakyatnya.
Kegagalan BPK dalam menjaga keuangan negara menjadi kegagalan rakyat Indonesia karena rakyatlah yang memberi mandat melalui konsensus konstitusi nasional yang disebut UUD 1945. Oleh sebab itu, BPK perlu diperkuat dan didukung oleh rakyat, oleh kita semua.
Sebagai warna negara yang peduli akan kelangsungan hidup bangsa ini, kita bisa berpartisipasi mendukung kinerja KPK Kawal Harta Negara dengan cara-cara yang memungkinkan bisa kita lakukan.
Penutup
Sebagai akhir tulisan yang singkat ini, saya mengajak kita semua termasuk diri penulis sendiri untuk menyadari bahwa upaya membangun Indonesia baru yang sejahtera memerlukan keterlibatan semua lapisan masyarakat.
Harta, kekayaan dan keuangan negara yang jumlahnya tidak terbatas harus kita kawal pemakaiannya agar tepat sasaran dan berdaya guna. Membiarkan pemakaiannya dalam ketidakefisienan, ketidakhematan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan akan semakin menjauhkan kesejahteraan dengan rakyat.
Kita patut bersyukur dan memberikan apresiasi setinggi-tingginya atas kinerja BPK yang menyelamatkan keuangan negara dari potensi kerugian hingga triliunan rupiah.
Semoga tulisan ini bisa memberikan energi perubahan bagi siapa saja untuk Indonesia yang lebih baik, Indonesia yang mampu mensejahterakan rakyatnya.
Salam Independensi, Integritas dan Profesionalisme !
