Besok adalah 1 Mei, dimana dunia akan memperingati Hari Buruh Internasional. Dalam kalender nasional, tanggal 1 Mei sekarang juga berwarna merah. Bagi ‘kelas’ selain buruh, Itu berarti libur. tetapi bagi buruh seringkali dimanfaatkan untuk turun kejalan alias demonstrasi.
Sejak 1996 hingga 2013 lalu, tidak pernah absen sekalipun prosesi turun kejalan tersebut. Membawa spanduk, menyebar panflet, membagi-bagikan stiker atau setangkai bunga mawar kepada siapapun yang ditemui sepanjang jalan yang dilewati. Teriakan “Hidup Buruh, Tingkatkan Kesejahteraan Kami, Berikan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Naikkan Gaji, Hilangkan Outsourcing” – dan sebagainya.
Seberapa efektifkan aksi turun ke jalan dalam memperjuangkan hak-haknya tersebut? Maaf saya tidak ada jawaban untuk itu. Karena sepanjang saya ketahui, kebayakan pengusaha itu “tuli” dan “phobi” atas permintaan kesejahteraan karyawannya. Dan, hubungan industrial di Indonesia itu sangat rumit. Tidak ada perusahaan yang mau “diperas” oleh karyawannya, Bukan?
Menemukan titik temu ekspektasi karyawan dengan pengusaha sangat sulit. Disisi pengusaha akan selalu bilang bahwa hal tersebut adalah seperti buah simalakama karena harus memilih bisnis tetap berjalan atau mati sama sekali. Disisi buruh menghendaki ada perbaikan.
Andai saja tuntutan dipenuhi, maka kenaikan upah berapapun akan tetap kurang karena tetap daja memicu harga-harga diluaran sana. Kalau toh pun terjadi titik temu antara buruh dengan pengusaha, belum tentu terjadi kompromi dengan naiknya harga-harga. Selalu saja itu terulang, bukan ?
Nampaknya perjuangan ini akan selalu berputar-putar, seperti dalam pusaran kabut setan yang tidak berujung bahagia. Walaupun toh demikian, sebagai istri seorang buruh juga, saya hanya bisa mendo’akan tanpa harus ikut turun kejalan.
Selamat Hari Buruh Internasional !