Ekonomi Digital Indonesia & Keamanan Bertransaksi
ernahkan anda memesan layanan transportasi online menggunakan aplikasi tertentu via handphone? Atau mungkin juga berbelanja berbagai kebutuhan keluarga secara online diberbagai e-commerce favorit?
Ya. Rasa-rasanya kita kini semakin terbiasa melakukan kegiatan ekonomi dengan model seperti ini bahkan menjadi semacam trend gaya hidup para millenial.
Namun, kita mungkin tidak menyadari kalau kita sedang mempraktekkan salah satu pola dalam tatanan ekonomi baru yang bakal menjadi masa depan dunia yakni ekonomi internet atau Ekonomi Digital #Ecodigi.
Terminologi ekonomi internet atau ekonomi digital memang sudah tidak asing lagi dan akan semakin sering kita dengar. Terminologi ini merujuk pada pengertian “Business transactions on the Internet: the marketplace that exists on the Internet“ atau transaksi dan pasar yang terjadi di dunia internet.
Transaksi pasar melalui jaringan ini ini muncul sebagai salah satu dampak positif sejak teknologi internet diperkenalkan kepada dunia pada tahun 1982 dan dikenal di negara kita pada dekade tahun 1990.
Kini negara kita pun sedang berupaya menjadikan momentum ini sebagai keuntungan (advantage) bagi ekonomi nasional, dan berupaya keras menjadi pusat grafitasi ekonomi digital di Asia Tenggara dengan potensi yang dimilikinya.
Potensi Ekonomi Digital Indonesia, Terbesar Di Asia Tenggara
Kita mungkin merasakan bahwa 5 tahun terakhir ini geliat pertumbuhan ekonomi negara kita menunjukkan grafik yang fluktuatif, namun di sisi lain tidak dapat dinafikkan kalau telah terjadi pertumbuhan yang signifikan pada industri berbasis online.
Dibanding dengan negara-negara di Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi berbasis online negara kita bahkan bisa dikata sebagai yang paling cepat dan tak dapat dipandang sebelah mata.
Berdasarkan riset Google dan Temasek, dari nilai transaksi di kawasan ASEAN yang sudah mencapai USD 72 miliar atau lebih dari Rp1.048 triliun di tahun 2018 ini.
Sedangkan nilai transaksi ekonomi berbasis online di negara kita mencapai US$ 27 miliar dengan laju CARS (pertumbuhan majemuk tahunan atau Compound Annual Growth Rate (CAGR)) tumbuh 49% dibanding tahun 2015.
Nilai ini bahkan diprediksi meningkat hingga US$ 100 miliar pada tahun 2025.
By Gross Market Value (GMV), nilai transaksi pasar e-commerce Indonesia saja sudah mencapai US$ 12,2 Miliar dengan laju pertumbuhan CAGR sebesar 94%. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan pasar negara-negara lain di ASEAN.

Bicara tentang potensi ekonomi digital negara kita memang tidak semata hanya tentang aktifitas jual beli barang dan jasa via internet saja, akan tetapi terkait juga dengan bisnis lain yang pada saat bersamaan juga tumbuh seiring dengan trend pertumbuhan internet.
Sebut saja seperti Fintech (Financial Technology), Layanan On Demand Service dan layanan-layanan publik lainnya dalam kerangka IOT (Internet of things).
Walaupun demikian kita tidak bisa menutup mata bahwa sesungguhnya e-commerce-lah yang mengalami pertumbuhan paling cepat di negara kita.
Tahun 2018 ini, nilai transaksi e-commerce di negara kita diperkirakan mencapai Rp 100 Triliun. Jumlah yang sangat fantastis, bukan ?
Transaksi e-commerce di negara kita terus meningkat setiap tahunnya. Buktinya, tahun 2017 transaksi hanya sebesar Rp 85 triliun dan tahun 2016 sebesar Rp 75 triliun.
Jumlah transaksi e-commerce di negara kita ini belum bisa diimbangi oleh transaksi Fintech sekalipun.
Menurut data Asosiasi Fintech Indonesia (AFI), transaksi Fintech baru mencapai USD 21 juta atau sekitar Rp 302,4 miliar (kurs Rp 14.400), terhitung pada pertengahan tahun 2018 ini.
Saya pikir kita sependapat bahwa pertumbuhan e-commerce yang semakin masif Ini disebabkan karena masyarakat sudah semakin terbiasa dengan kegiatan jual beli secara online melalui platform yang tersedia.
Lebih lanjut, e-commerce yang dimaksud dapat diklasifikasikan ke dalam 8 (delapan) kategori, yaitu marketplace atau e-retail, classified horizontal, classified vertical, travel, transportation, specialty store, daily deals, dan logistik.

Potensi ekonomi digital yang besar tak lepas dari resources yang dimiliki negara kita seperti pertumbuhan pengguna internet, jumlah populasi nasional serta Product Domestic Bruto (PDB).
Internet di negara kita yang awalnya hanya bisa dinikmati melalui paguyuban jaringan pada tahun 1990 telah mengalami pertumbuhan pengguna yang luar biasa di tahun-tahun setelahnya.
Menilik rilis hasil survey APJII (Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia) dengan teknopreneur, pengguna internet Indonesia yang hanya 55 juta pada tahun 2011 melonjak mencapai 143,26 juta atau 54,6% dari total populasi nasional 262 jiwa pada tahun 2017.
Pertumbuhan yang tinggi ini memposisikan negara kita sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan internet tertinggi di ASEAN bahkan di dunia.

encermati fakta-fakta pertumbuhan internat negara kita, setidaknya saya mencatat 4 (empat) hal menarik yang perlu digarisbawahi yakni,
Pertama, 35,1 % akses internet dipenggunakan untuk sektor perdagangan dan industri jasa 26,1%.
Kedua, 49,52% pegguna internet di Indonesia didominasi oleh kelompok yang cenderung produktif dan konsumtif yakni umur 19 -34 tahun.
Ketiga, 54,68 % pegguna di di negara kita mengakses internet melalaui telepon seluler (handphone).
Keempat, mayoritas pengguna internet didominasi oleh 56% berstatus sebagai karyawan dan 27% adalah wirausaha.
Empat hal ini selanjutnya menjadi faktor-faktor pendorong pertumbuhan ekonomi digital di negara kita.
Indonesia Bersiap Menjadi Pusat Gravitasi Ekonomi Digital Asia Tenggara 2020
Mempunyai resources yang besar bagi negara kita sangat menguntungkan. Dengan resources yang dimiliki ini negara kita bersiap menjadi pusat gravitasi ekonomi digital di Asia Tenggara tahun 2020.
Mempunyai resources yang besar bagi negara kita sangat menguntungkan. Dengan resources yang dimiliki ini negara kita bersiap menjadi pusat gravitasi ekonomi digital di Asia Tenggara tahun 2020.
Pemerintah pun tidak tinggal diam dalam mencapai keinginan tersebut dengan membangun ekosistem yang kodusif serta mendorong perluasan dan efisiensi bisnis elektronik.
Salah satunya adalah dengan menyiapkan peta jalan (roadmap) industri e-Commerce sebagaimana tertuang dalam paket kebijakan ekonomi jilid-14.
Melihat kembali latar belakang keluarnya paket kebijakan ekonomi jilid 14 ini setidaknya didasari pada 2 (dua) hal yakni,
Pertama, negara kita sebelumnya tidak mempunyai roadmap e-commerce secara nasional yang akan menjadi acuan stakeholder.
Kedua, masih terdapat berbagai peraturan yang isinya kontradiktif dan tidak selaras dengan semangat mendorong pertumbuhan e-commerce nasional.

Ekonomi Digital, Gaya Hidup Non-tunai Dan Keamanan Bertransaksi
Ekonomi digital memang digadang-gadang akan menjadi masa depan ekonomi dunia karena dependensi kehidupan pada teknologi jaringan internet. Lalu lintas barang, jasa dan informasi semakin mudah terbuka. Dunia seolah mengecil seperti perkampungan besar saja karena sekat-sekat dan limitasi geografis nyaris runtuh.
Selain itu dalam kerangka ekonomi digital, transaksi non-tunai seolah menjadi kebutuhan yang tak terelakkan,
Oleh karena itu, program Gerakan Nasional Non-Tunai (GNNT) yang dikomandani Bank Indonesia (BI) bisa dimengerti sebagai guidance penting dalam bertransaksi di era ekonomi digital saat ini.
Gerakan ini diharapkan mampu meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa pembayaran non tunai itu lebih praktis, efisien, dan aman.
Jika gaya hidup non tunai ini meluas, maka beban bank sentral dalam mencetak serta mengendalikan peredaran uang di masyarakat akan berkurang. Begitu kurang lebihnya.
Oleh sebab itu masyarakat perlu adanya pemahaman yang komprehensif tentang pembayaran transaksi non-tunai dengan instrumen yang dimilikinya.
Pemahaman ini dibutuhkan agar masyarakat semakin pandai dan cakap bertransaksi dengan alat pembayaran non tunai serta bisa menghindari daya upaya jahat berupa penipuan yang mungkin terjadi saat bertransaksi digital.
Apa yang perlu dilakukan ?





Diakhir tulisan, saya hanya menegaskan kembali bahwa saat ini kita sampai pada sebuah ekosistem dengan tatanan ekonomi baru yakni ekonomi digital yang menjadi pintu gerbang masuk pada level selanjutnya, revolusi industri 4.0.
Potensi besar yang dimiliki negara kita menjadi sangat lumrah bila Indonesia menjadi pusat gravitasi ekonomi digital di kawasan ASEAN tahun 2025.
Lain daripada itu, dalam kerangka ekonomi digital, transaksi non-tunai menjadi kebutuhan yang tak terelakkan.
Oleh sebab itu masyarakat perlu mempunyai pemahaman yang komprehensif tentang pembayaran transaksi non-tunai dengan instrumen yang dimilikinya
Bila pemahaman ini menjadi gaya hidup masyarakat, maka ini sama artinya membantu Bank Sentral Indonesia dalam mencetak dan mengendalikan peredaran uang di masyarakat.
Selain itu, pemahaman masyarakat tentang pembayaran non-tunai juga membantu menghindari kejahatan dalam transaksi digital.