
Hidup Bertetangga Dengan Baik, Bikin Hidup Lebih Hidup!
Tak ada yang benar-benar bisa hidup sendiri. Kalau pun ada itu hanya dalam cerita film atau sinetron.
Dengan alasan apapun hidup bertetangga dan bermasyarakat adalah kodrati manusia sekaligus pilihan yang realistis.Tetangga adalah saudara terdekat ketika saudara sedarah berjauhan tempat tinggal dengan kita. Tetanggalah yang akan datang ke rumah lebih dulu kalau kita butuh bantuan saat terkena musibah.
Hidup bertetangga itu menyenangkan bila dibungkus dengan sikap “tepo sliro”. Pitutur becik orang Jawa ini mengajarkan hidup saling menghargai. Dengan pitutur ini pula, saya mempunyai pengalaman hidup bertetangga yang menyenangkan dengan berbagai tipe, watak dan latar belakang orang.
Di Kudus, Saya Belajar Banyak Hal dari Hidup Bertetangga.
Tinggal di sebuah kampung bernama Tenggeles, saya mendapatkan pengalaman hidup bertetangga dari kebiasaan warga masyarakat.
Hampir setiap sore, biasanya saya ngumpul bareng emak-emak tetangga sebelah rumah, mencari kutu di kepala (petanan-Jawa) sembari cerita ngalor ngidul tentang sinetron, sekolah anak, harga sembako dan lain sebagainya.
Di Kudus, saya juga mengetahui tradisi unik yang menjadi bagian dari kehidupan bertetangga seperti Wanakib yakni pembacaan cerita Syech Abdul Qodir Al Jaelani oleh bapak-bapak, diakhiri dengan doa dan makan bersama dengan ingkung ayam yang dimasak secara khusus.
Setiap malam Jum’at Kliwon, saya pun lebur bersama tetangga dalam tradisi “Barikan” yakni kebiasaan memanjatkan doa keselamatan, dipimpin oleh seorang ustadz dan diakhiri dengan makan “nasi kluban” bersama-sama di pertigaan jalan.

Tinggal di Kudus menorehkan pengalaman hidup bertetangga yang menyenangkan dan terlalu berharga untuk dilupakan.
Keramahan khas masyarakat pantura yang dimanifestasikan dalam kebiasaan hidup bertetangga memang tiada duanya. Ini menjadi pelintasan perjalanan saya dan suami menjalani kehidupan di awal-awal pernikahan.
Menemukan Tetangga Baru di Tempat Baru, Mayong Jepara.
Selepas tinggal bersama mertua, saya dan suami mencari hunian yang sesuai anggaran dengan tetap mempertimbangkan kondisi lingkungan.
Setelah beberapa lama, akhirnya ketemu hunian yang sesuai keinginan di kampung bernama Singorojo.
Di tempat yang baru ini saya pun menemukan tetangga baru dari berbagai latar belakang profesi mulai dari polisi, PNS, karyawan swasta hingga wiraswata.
Seperti di Kudus, lingkungan tempat tinggal juga mengedepankan sikap hidup toleransi, gotong royong dan tolong menolong.
Teringat oleh saya, bagaimana Pak Agus tetangga sebelah rumah, yang merupakan anggota polisi, membantu sepenuh hati ketika kantor suami saya kemalingan dan kehilangan uang puluhan juta rupiah.
Begitu juga dengan Bu Jafar, Istri Pak RT, yang selalu menggantikan menjaga Si Kecil Arya setiap sore ketika saya harus mandi dan menyiapkan makan malam.

Hampir 4 tahun saya tinggal di kota kelahiran ibu Kartini ini. Rasanya betah karena lingkungan yang nyaman dengan tetangga yang menyenangkan.
Migrasi Ke Jogja, Kota Berhati Nyaman.
Tahun 2010, saya dan suami Menetap
di Jogjakarta. Tidak seperti saat ini di mana mencari hunian tempat tinggal sangat mudah bisa melalui website, dulu mencari hunian sesuai anggaran di Jogja tidaklah mudah.
Tahun pertama, saya dan keluarga masih mengontrak rumah sederhana dengan dua kamar tidur. Setahun kemudian barulah saya mendapatkan rumah idaman di Purwomartani Kalasan dengan fasilitas kredit lunak perusahaan suami, tenor 5 tahun.
Walaupun terletak di kampung, tempat baru ini sungguh nyaman, mempunyai lingkungan yang asri, ramah anak dan tetangga yang guyup rukun.
Tidak pernah terjadi gesekan antar warga. Saya pun tak sungkan beraktifitas bersama tetangga mulai dari arisan, pengajian, mengurus Posyandu dan sebagainya.
Di tempat tinggal baru ini saya juga berkesempatan belajar memainkan alat musik angklung dan menjadi anggota komunitas angklung warga.
Beberapa kali komunitas angklung warga ini berkolaborasi dengan komunitas angklung lain dalam satu panggung. Sungguh, hidup dalam lingkungan dengan tetangga yang menyenangkan itu bikin hidup semakin hidup, Losta Masta !