Ketika Anak Mulai Berani Melawan dan Membantah Perintah Orang Tua
Ada kalanya orang tua sedih dan bingung menghadapi perubahan perilaku anak yang tiba-tiba berani melawan dan melawan perintah orang tua. Mereka bertanya kenapa ini terjadi, apa penyebabnya dan bagaimanakah menyikapinya. Nah, ini pengalaman saya, Bunda.
Mempunyai anak memasuki usia pubertas itu butuh usaha extra dalam mendidiknya. Memasuki usia ini sebenarnya dalam diri anak sudah tumbuh sikap positif seperti keinginan berbagi, berkomunitas dan lain sebagainya sebagainya. Namun di sisi lain dalam waktu bersamaan juga muncul sikap tak menyenangkan yang bikin orang tua geregetan.
Ia mulai sulit berdamai dengan perintah orang tua, sikap melawan, membantah, memberontak, suka protes dan ‘semau gue’. Tiap hari selalu saja ada drama adu argumen, bahkan untuk hal-hal kecil yang sebenarnya tak penting-penting amat.
Ya bunda, hal ini sedang saya alami dengan anak perempuan saya, Ayunda, yang kini duduk di bangku SMP.
Sebagai orang tua, saya pantas khawatir dengan perubahan Ayunda tersebut. Terlintas pertanyaan dalam benak, apakah mungkin karena kesalahan pola didik saya selama ini? Atau apakah karena ia salah dalam bermedia sosial dan akibat pengaruh buruk film-film yang ditontonnya?
Namun, saya sendiri ragu kalau disebabkan karena hal itu. Saya merasa telah mendidiknya dengan baik, penuh kasih sayang dan tak pernah membedakan dengan kakak dan adiknya. Di samping itu, saya juga mengontrol ketat aktivitas digitalnya. Selain mengaktifkan ‘fitur parentral control’, secara berkala juga membuka histori aktivitasnya baik di laptop maupun handphone yang dipakainya.
Apakah ini normal, dan bagaimana saya menyikapinya, Bunda?
Bukan Durhaka, Bunda. Namun...
Kekhawatiran saya berubah menjadi pemahaman yang baik ketika mengikuti kelas-kelas parenting online dalam berbagai kesempatan serta membaca berbagai artikel. Apa yang saya alami ternyata juga dialami para orang tua lainnya.
Perubahan sikap seperti yang terjadi pada Ayunda yang mulai melawan orang tua sebenarnya bukan “gambaran kedurhakaan” dan bukan pula kesalahan orang tua dalam mendidik anak. Dalam hirarki pertumbuhan anak, hal itu adalah normal. Bahkan menjadi salah satu indikasi perkembangan anak memasuki usia remaja.
Namun, anak dalam posisi ini baru meraba jati diri. Apa yang ada dalam pikirannya adalah perasaan sudah punya kemerdekaan dan kebebasan, seolah-olah sudah merasa besar. Ya, semacam emosi sesaat yang muncul tiba-tiba begitu.
Dari sini akhirnya saya pun paham bahwa saya tak perlu bertanduk lalu memarahi, membentak dan menghukumnya walalupun dalam hati merasa sedih dan tersayat hati.
Saya pikir itu bukan solusi yang baik karena kekerasan justru akan bertemu dengan kekerasan. Lalu ujungnya di mana?
Seandainya saya marah sekali pun, saya tidak yakin Ayunda menjadi takut dan menjadi penurut. Bisa jadi ia malah semakin memberontak. Masih untung kalau saya hanya disebut sebagai ibu yang galak. Tapi bagaimana kalau sampai meninggalkan trauma dan menjadi bibit dendam yang ia lampiaskan kepada anak-anaknya kelak?
Ya, bunda. Tentu saja saya tak ingin meninggalkan legacy yang demikian kepada Ayunda.
Memanfaatkan Momentum Dua Menit Pertama
Walalupun perubahan sikap Ayunda yang mulai melawan dan membantah perintah orang tuanya adalah proses alami yang umum di usianya, namun sebagai orang tua saya tak ingin sikap tersebut menjadi terbiasa. Tentu saja saya tidak jemu untuk menegur, menasehati dan memberi pengertian padanya. Ya, setiap kali ia melakukan hal yang sama, di saat itu pula saya menegurnya.
Namun, anak seumuran dia memang bukan anak kecil lagi. Cara yang saya pilih pun berbeda, tidak seperti ketika saya menasehati adiknya yang masih kecil. Bagaimana saya menegurnya?
Dalam hal ini saya mengikuti pola yang diajarkan dr. Aisyah Dahlan, CHT, seorang Praktisi Neuroparenting Skill yang juga Ketua Asosiasi Rehabilitasi Narkoba Indonesia, yakni memanfaatkan momentum 2 menit pertama.
1 menit pertama, saya langsung menegurnya. Tentu saja dengan bahasa yang mudah dipahami dan dilogika olehnya. Yakni tentang sebab akibat dari perbuatannya, kenapa harus begini, kenapa harus begitu, apa akibatnya, dan sebagainya.
1 menit berikutnya, saya pun membesarkan hatinya dengan memujinya sebagai anak yang baik, sholehah, generasi millenial calon pemimpin dan bla-bla-bla. Tentu saja saya lakukan dengan tulus, dan bukan basa-basi semata.
Ini saya lakukan untuk membangun citra positif dan kepercayaan dalam dirinya. Setelah itu biasanya saya memeluknya dengan erat sembari mengatakan kalau saya sayang sekali dengannya, dan menaruh harapan besar padanya.
Membuat Kesepakatan "Win-Win Solution"
Mensikapi perubahan perilaku Ayunda, saya memang seperti orang bermain layang-layang, Bunda. Saya mesti tarik ulur benang sedemikian rupa agar layang-layang terbang tinggi di udara namun juga tidak terlepas dari tangan.
Di satu sisi saya tidak ingin mengekang kebebasan dan kemerdekaanya, namun di sisi lain saya juga tidak ingin membiarkannya kebablasan.
Dalam praktinya, saya akhirnya memberi ruang berekpresi seluas-luasnya namun dengan kesepakatan-kesepakatan kecil yang bisa diterima bersama (Win-Win Solution). Salah satu kesepakatan itu adalah, saya mengijinkan ia menonton film drama Korea kesukaanya atau main game online, namun tidak lebih dari tiga jam sehari.
Saya dan Ayunda juga bersepakat mengijinkannya menulis cerita setelah ia selesai mengerjakan tugas-tugas sekolahnya dan begitu mendengar azan langsung bergegas mengambil air wudhu untuk sholat berjamaah, tanpa harus diperintah.
Ya, Bunda. Kebetulan Ayunda memang mempunyai hobi menulis. Bahkan dari hobi itu, ia ia sudah menulis 7 (enam) buku yang diterbitkan oleh Mizan Publishing yakni dan 1 (satu) buku yang diterbitkan penerbit lain baik berupa novel solo maupun karya bersama (antologi).
Buku-bukunya tersebut ia display di website pribadinya dengan alamat kaylaayunda.my.id.
Dan dari hasil hobi menulisnya tersebut ia bahkan bisa membeli laptop sendiri untuk berkarya, handphone, guitar dan buku-buku novel populer karya penulis idolanya.
Mengubah Gaya Memerintah Menjadi Ajakan
Sebagai orang tua, ada kalanya kita juga berbuat salah pada anak. Satu kesalahan yang sering dilakukan orang tua adalah meperlakukan anak-anak tidak seusai dengan umurnya atau menganggap selalu kecil. Maka tanpa disadari orang tua selalu menggunakan pola memerintah disertai ancaman. Bahkan kadang dengan nada yang tinggi seperti komandan peleton kepada anak buahnya.
Jujur saya akui bahwa awalnya saya juga seperti itu kepada Ayunda, Bunda. Dulu saya selalu mengancam akan mengambil paksa handphone, atau menyiram air kepadanya kalau tidak segera beranjak untuk sholat atau belajar. Ironisnya saya sendiri malah masih melakukan aktivitas.
Ya. Ia memang melaksanakan perintahkan, namun dengan keterpaksaan. Tak jarang Ia malah kesal dan membanting hanphone atau apa pun yang dipegangnya dengan keras ke meja disertai dengan gerutu. Ia seperti mau bilang kalau ia sudah besar, tidak perlu diancam-ancam.
Nah, perlahan-lahan saya mengubah cara itu dengan prinsip “You show me I will remember, You ask me I will forget.” Saya tidak lagi menerapkan gaya memerintah dengan ancaman kepadanya namun mengubahnya menjadi ajakan. Di waktu yang bersamaan saya juga sudah bersiap melakukan hal yang sama seperti yang saya perintahkan, Bunda.
Nah Bunda, itulah pengalaman dan cara saya mensikapi perubahan perilaku anak yang mulai melawan dan membantah perintah orang tua karena pubertas dan sebab-sebak lainnya. Saya paham, setiap orang tua pasti memiliki pengalaman berbeda dalam menyikapinya. Namun apa pun caranya, beberapa hal yang mungkin sama adalah sebagai orang tua kita memang mesti bersabar, tidak egois, berempati pada perubahan anak, terus menasehati dengan kehalusan serta memberi contoh yang baik.
Begitulah Bunda, terima kasih telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat dan menginspirasi.
