MENCONTOH BANDUNG DAN CIMAHI, #KOMPAKPILAHSAMPAH DARI KAWASAN DENGAN KONSEP ZERO WASTE CITIES

Selain korupsi, narkoba dan radikalisme, sejatinya bangsa ini menghadapi permasalahan lain yang tak kalah membahayakan yakni permasalahan pengelolaan sampah. Di negara +62 ini, sampah tumbuh menjadi bahaya yang mengancam dan berpotensi menimbulkan masalah serius.   

Siapa pun tahu kalau sampah menjadi salah satu penyebab munculnya berbagai pernyakit mulai diare, kolera, demam berdarah hingga tifus. Dan pada bumi yang indah ini, sampah pun berperan dalam terjadinya pencemaran udara, global warming hingga bencana alam mengerikan seperti banjir, kebakaran hingga longsor.

Bangsa ini tak mungkin lupa tragedi 17 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 21 Februari 2005 ketika TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) Leuwigajah Cimahi longsor. Kala itu gunungan sampah sepanjang 200 meter dengan tinggi 60 meter itu goyah diguyur hujan deras. Akumulasi gas metan dari tumpukan sampah meledak dan membuat gundukan sampah longsor bak ombak menerjang apa pun yang ada di sekitarnya. 

Tragedi itu menyebabkan tewasnya 143 warga, mengubur 71 rumah dan 2 kampung yaitu Kampung Cilimus dan Kampung Gunung Aki yang berada di sisi tebing, tepat di depan Gunung Gajah Langu. Dan paska kejadian memilukan itu, pada tahun 2006 Kementerian Lingkungan Hidup menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN), yang selanjutnya kita peringati setiap tahunnya hingga saat ini.

Dokumentasi kejadian sampah Longsor Leuwigajah Cimahi longsor

Proses evakuasi korban longosr TPA Leuwigajah Cimahi – Dokumentasi Detik.com, 2005.

Darurat Sampah di Bumi Pertiwi

Persoalan sampah di Indonesia ini telah menjadi momok yang menakutkan. Banyak kalangan mengatakan kalau pengelolaan sampah sangat buruk. Bahkan bisa dibilang kalau Bumi Pertiwi ini sudah masuk dalam level darurat sampah. Berbagai pihak mendesak permasalahan sampah disejajarkan dengan persoalan-persoalan kritis lain, seperti darurat narkoba dan darurat korupsi dan mendapat perhatian serius.

Hal ini tentu tidak berlebihan, lebih-lebih kalau mengkaji data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Republik Indonesia tahun 2020 lalu yang menyebutkan bahwa jumlah timbulan sampah secara nasional telah mencapai tak kurang dari 5,6 juta ton per bulan atau mencapai 67,8 juta ton per tahun. 

Dari jumlah tersebut, sampah yang dihasilkan rumah tangga masih memberi kontribusi dominan, menyumbang 48% dari keseluruhan sampah sedangkan bila dilihat dari jenisnya, sampah organik masih mendominasi yakni sebanyak 60%. Namun, seiring pertumbuhan jumlah penduduk dan semakin membaiknya tingkat kesejahteraan masyarakat, timbulan sampah ini disinyalir akan terus bertambah seperti deret ukur. Dan bila terjadi pembiaran terus menerus tak mustahil dalam kurun waktu 5 hingga 10 tahun ke depan negara ini akan dikepung sampah. 

Fakta-Fakta Sampah di Indonesia

ilustrasi sampah
hand-drawn-arrow_15
Arrow left2
Arrow left2
hand-drawn-arrow_15

Indonesia adalah peringkat kedua negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia setelah China. Setiap tahunnya Indonesia memproduksi 3,2 juta ton sampah plastik. Bila dirata-rata, setiap penduduk Indonesia bertanggung jawab atas 17,2 kg sampah plastik yang sebagian besarnya berakhir di lautan karena tidak terolah.

 

Sumber:
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2020 dan olahan dari berbagai sumber.

Kota metropolitan dan kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, adalah kontributor sampah terbesar di Indonesia. Rata-rata produksi sampah harian di kota metropolitan (jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa) sebesar 1.300 ton dan kota besar (jumlah penduduk 500 ribu – 1 juta jiwa) adalah sebesar 480 ton.

Dari Kepedulian Masyarakat Hingga Kapasitas Pemerintah Daerah

Sejauh ini menurut saya pemerintah sudah berada di jalur yang benar yakni menjadikan sampah sebagai ancaman nasional jangka panjang. Roadmap pengelolaan sampah pun sudah dibuat yakni menetapkan target pengurangan sampah di hingga 30% sampai tahun 2025, serta target penanganan 70% dari timbulan sampah nasional dengan program pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan hingga pemrosesan akhir sampah. 

Roadmap ini adalah implementasi dari konsep dasar Adipura 2025, Amanat Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (JAKSTRANS) Pengelolaan Sampah, PP No 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik dan berbagai Peraturan Menteri KLH.     

ilustrasi sampah2

Roadmap
Pengelolaan Sampah Nasional

Target Penangangan 70% Timbulan Sampah Nasional

Dasar Hukum

Pola pengelolaan sampah di Indonesia Selama ini

Diolah dari berbagai sumber

Target Pengurangan Sampah hingga 30% sampai tahun 2025

truk sampah
ilustrasi sampah4
Diangkut dan ditimbun di TPA 69 %
Dikubur 10 %
Dibuang ke Sungai atau perairan 7 %
Dikompos dan didaur ulang 7 %
Tidak dikelola 3 %
hand-drawn-arrow_15
hand-drawn-arrow_15
Arrow left2

Akan tetapi, walaupun roadmap pengelolaan sampah sudah dibuat, namun bukan berarti mudah dalam implementasinya. Eksekusi di lapangan menjadi penentu, apakah roadmap tersebut hanya berujung angan atau menjadi rencana yang terealisasikan. 

Masalah sampah di republik ini adalah persoalan kompleks dan multidimensi. kediriannya terkait dengan berbagai pihak mulai individu, rumah tanggal, komunitas masyarakat hingga pemerintah sebagai pemangku kekuasaan. Maka, ada dua hal besar yang menurut saya menjadi penentu berhasil atau tidaknya roadmap tersebut, adalah:

Kepedulian Masyarakat Rendah

Suatu ketika saya membaca sebuah data yang disajikan oleh BPS. Data yang dirilis tahun tahun 2018 tersebut mengatakan bahwa berdasarkan survey dan penelitian di lapangan, ternyata 72% masyarakat Indonesia masih belum peduli tentang sampah. 

Menurut saya data tersebut benar dan menggambarkan realitas yang sesungguh. Ali-alih membuang sampah di tempatnya, saya sendiri sering menyaksikan kebiasaan orang membuang sampah sembarangan di jalan saat berkendara, di sungai, dan di berbagai tempat lainnya seenenaknya sendiri tanpa merasa bersalah. Selain itu, masyarakat juga masih tidak peduli dengan pemilahan sampah dengan baik.

Tak jauh-jauh. Gambaran tersebut terjadi pula di lingkungan tempat tinggal saya. Yang paling kentara adalah kebiasaan warga yang membuang sampah tanpa melakukan pemilahan terlebih dahulu. Sampah-sampah hanya disakukkan k dalam kantong plastik kemudian ditaruh begitu saja ke keranjang sampah yang sama. Padahal, dari pemerintah desa sudah menyediakan tempat sampah terpilah.

Bisa jadi hal ini tidak hanya terjadi di lingkungan saya, tetapi di banyak wilayah lainnya. Menurut saya, masyarakat (rumah tangga) perlu diedukasi kembali pentingnya membuang sampah dengan baik sesuai jenisnya yakni sampah organik (degradable) yakni yang mudah membusuk secara alami, anorganik (undegradable) yang tidak mudah membusuk, serta sampah beracun (B3) yang masuk kategori berbahaya dan perlu penanganan khusus.

Pemilahan sampah sesuai jenisnya ini penting karena sebenarnya sudah menjadi rahasia umum kalau sampah-sampah tersebut mempunyai nilai ekonomis, bila di daur ulang. 

Sampah pastik, misalnya, dengan teknologi tertentu ia bisa didaur ulang menjadi sumber energi listrik atau campuran aspal. Sampah kertas yang bisa didaur ulang menjadi kertas lagi dan sampah-sampah organik bisa diolah menjadi kompos atau sumber energi biogas, dan sebagainya. 

…berdasarkan survey dan penelitian lapangan ternyata 72% masyarakat Indonesia belum peduli tentang sampah.

Dokumentasi pribadi – TPS Lingkungan Tempat Tinggal, Kaligangsa Wetan, Brebes

Kapasitas Pemerintah Daerah Belum Merata

Permasalahan kedua dalam hal pengelolaan sampah terletak pada kapasitas pemerintah daerah. Maksud saya, belum semua wilayah memiliki kapasitas dan mampu mengimplementasikan roadmap pengelolaan sampah dengan baik. Faktor penyebabnya bisa jadi karena masalah pendanaan, sistem managemen dan tata kelola yang buruk, hingga anggapan bahwa sampah masih dipandang bukan sebagai permasalahan urgent di daerah.

Di Brebes misalnya, kota kabupaten dengan jumlah penduduk terbesar kedua setelah Semarang ini (1.908.376 jiwa -BPS Brebes, 2018), sampah menjadi salah satu permasalahan serius menurut saya. Produksi sampah di Brebes menurut di Dinas Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sampah (DLHPS) mencapai lebih dari 500 ton per hari. Sampah-sampah tersebut merupakan sampah organik dan anorganik yang berasal dari sisa sampah rumah tangga, sampah pertanian, sampah dari aktivitas pasar, sampah perkantoran, sampah rumah sakit, sampah sekolah, sampah industri, sampah konstruksi bangunan gedung, sampah peternakan dan perikanan.

Sebenarnya inisiatif menyelesaikan permasalahan sampah di Brebes sudah tumbuh. Salah satunya tertuang dalam Peraturan Bupati No. 56 Tahun 2018 tentang Jakstra Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga melalui pembatasan timbulan sampah, pendauran ulang sampah hingga pemanfaatan kembali (Reduce, Recycle, Reuse). Namun sayangnya, implementasinya masih lemah terutama dalam hal infrastruktur hingga penanganan di tingkat lingkungan. 

Saat ini, Brebes hanya memiliki 27 TPS (Tempat Pembuangan Sampah Sementara) dan 2 TPA (Tempat Pemrosesan Sampah Akhir). Jumlah ini belum seimbang dengan produksi sampah harian di 17 kecamatan. Baru tahun 2021 ini, Pemkab Brebes melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Pengelolaan Sampah (DLHPS) baru berencana membangun Tempat Pemosresan Akhir Sampah Terpadu (TPAST) di Kecamatan Ketanggungan, tepatnya di Desa Kubangsari, dengan meenggunakan lahan pemerintah seluas 5 hektare.

Lemahnya implemantasi juga bisa dilihat dari penanganan pengelolaan sampah di tingkat lingkungan (kampung). Ini bisa dilihat dari salah satu TPS Sementara yang hanya berjarak 150 meter dari rumah saya. Di TPS ini, sampah-sampah digelar begitu saja tanpa penanganan serius. Sampah berceceran ke mana-mana, diobrak-abrik anjing, kucing dan para pemulung yang mencari barang-barang yang mungkin masih bisa dimanfaatkan. 

Bau busuk pun menyengat membuat perut mual, mengganggu para pengendara atau orang-orang yang hendak ke sawah. Timbunan sampah yang membusuk ini berpotensi menyebarkan penyakit dari jutaan lalat yang mengerubunginya. Padahal tak jauh dari situ berdiri warung-warung makan kampung.  

Ceritanya pasti akan lain bila sampah dari kawasan (rumah tangga) sejak awal sudah dipilah-pilah sesuai dengan jenisnya dan dinas terkait mengoptimalkan mesin permrosesan sampah yang kini terbengkelai. Selain itu pemerintah desa juga bisa mengajak warganya untuk mengelola sampah dengan baik, setidak menginisiasi munculnya partisipasi masyarakat peduli sampah dan lingkungan mengingat hingga saat ini hanya ada dua desa mandiri sampah di Brebes..

Saya sendiri berharap bahwa Brebes mampu mengadaptasi konsep Zero Waste Cities dalam hal pengelolaan sampah dari kawasan, mengikuti kota-kota lain yang sudah siap gencarkan konsep ini seperti  Bandung dan Kabupaten Bandung yang diikuti Denpasar, Gresik, Surabaya, Medan, Kepulauan Seribu dan Cimahi.

Dokumentasi pribadi – Tempat Sampah Terpilah Lingkungan Tempat Tinggal, Kaligangsa Wetan, Brebes

Zero Waste Cities Solusi Alternatif Atasi Permasalahan Sampah

Konsep Zero Waste Cities adalah model solusi atasi sampah yang diadopsi dari Filipina. Konsep ini merubah pola kumpul angkut buang menjadi pengurangan sampah melalui proses pemilahan dari rumah tangga. Barulah residu sampah yang tidak bisa diolah akan dibawa ke TPA. 

Di Indonesia, program Zero Waste Cities selaras dengan tata kelola persampahan sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang no. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, yakni amanat untuk melakukan pengelolaan sampah secara terdesentralisasi, melalui pemilahan di sumber penghasil sampah. Selain amanat pemilahan, terdapat pula amanat untuk melakukan pengelolaan berkelanjutan pada sampah yang dihasilkan, yang pada program ini termasuk pada upaya pengomposan komunal.

Oleh karena itu, dalam prakteknya, Zero Waste Cities ini memiliki 9 (sembilan) tahapan kerja yang merujuk pada pola pegelolaan sampah terdesentralisasi serta berkelanjutan sebagaimana diamanatkan undang-undang, yakni.

Tahap 01
Tahap 02
Tahap 03
Tahap 04
Tahap 05
Tahap 06
Tahap 07
Tahap 08
Tahap 09

Kajian Kondisi Kelurahan

Kajian wilayah meliputi pendataan profil kawasan secara topografis dan geografis, pengumpulan data pengelolaan sampah eksisting, serta survey persepsi masyarakat.

Desain Sistem Pengelolaan Sampah Kawasan

Pengolahan data untuk merumuskan desain sistem pengelolaan sampah yang disesuaikan dengan kondisi kawasan.

Konsultasi Sistem Pengelolaan Sampah dengan Stakeholder Kawasan

Proses konsultasi melibatkan tokoh-tokoh masyarakat (Lurah/Kepala Desa, Ketua RW/Kepala Dusun, Ketua RT), organisasi kemasyarakatan (PKK, Karang Taruna) serta petugas pengumpul sampah di kawasan.

Persiapan Sarana Pendukung Pengelolaan Sampah Kawasan

Pendataan dan penyiapan sarana pengelolaan sampah atau sarana dan prasarana yang dibutuhkan

Pelatihan Petugas Sampah dan Edukasi Warga

Pelaksanaan edukasi pada petugas pengelola sampah mengenai cara-cara pengangkutan sampah dalam keadaan terpilah. Petugas sampah juga diharapkan dapat mengedukasi warga pula. 

Door to Door Education

Melakukan edukasi pada warga mengenai pengangkutan terpilah dan cara tepat untuk memilah sampah secara door to door.

Door to Door Collection dan Perbaikan Sistem

Melakukan uji coba pengangkutan terpilah atau Door to Door Collection. Dilakukan juga perbaikan sistem selama ujicoba agar lebih siap dijalankan.

 

Penerapan Penuh Sistem Pengelolaan Sampah

Pada tahap ini, sistem yang telah mengalami perbaikan setelah ujicoba, mulai diterapkan secara berkelanjutan di sebuah kawasan.

Monitoring dan Evaluasi

Pada 3 bulan pertama penerapan sistem, dilakukan monitoring untuk door to door collection secara rutin setiap hari pengumpulan sampah. Setelah 3 bulan, frekuensi monitoring dikurangi.

Model ini dapat berjalan dengan baik jika ada kebijakan dan keikutsertaan warga. Kota Bandung misalnya, didorong oleh YPBB yakni salah organisasi non-profit dan non-pemerintah yang gencar mengkampanyekan konsep Zero Waste di Indonesia, telah membuat kebijakan lintas sektoral yakni kolaborasi antara pemerintah, warga, swasta dan lainnya dalam membangun peradaban baru yakni pengelolaan sampahdengan metode Zero Waste yang dikenal dengan sebutan Kang Pisman, Program Kurangi Pisahkan dan Manfaatkan.

Kebijakan yang lahir tahun 2018 ini terus berkembang menjadi sebuah gerakan tersistem yang perlahan-lahan mampu mengubah mindset masyarakat dalam hal pengelolaan sampah dari kawasan (lingkungan terkecil/rumah tangga) dengan menerapkan pola memilah dan memilih sampah sesuai dengan jenisnya.

Program ini dianggap sukses dalam menekan timbunan sampah di Bandung. Koran lokal memberitakan kalau timbunan sampah warga Bandung yang diangkut ke TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, turun menjadi hanya 1.300 ton setiap harinya. Selain itu, dari 1.800 RW yang ada di Kota Bandung, kini 147 RW surah tidak buang sampah ke TPS berkat program Kang Pisman.

Dokumentasi YPBB dan kangpisman.com

Tak jauh beda dengan Bandung, Kota Cimahi juga mengembangkan Konsep Zero Waste dengan semboyan Cimahi Barengras. Penerapan Zero Waste di Cimahi ini dimulai dengan gerakan membawa tumbler, prasmanan dan air isi ulang di perkantoran. 

Dalam prakteknya, Pemkot Cimahi mendorong pengaturan 6 jenis kemasan plastik antara lain sedotan plastik, Styrofoam, box plastik dan lain-lain yang penerapannya fokus pada kawasan terkecil seperti Kelurahan dan RW RW

Kepedulian tentang sampah untuk hidup yang lebih baik dengan konsep Zewo Waste City ini pun semakin meluas hingga Depasar, Medan dan Gresik.

Saya berharap konsep ini akan diadopsi oleh kota saya mengingat permasalan sampah di Kota Bawang dan Telur Asin ini masuk dalam level memprihatinkan.  

Terima kasih telah membaca artikel ini semoga bermanfaat.

Cara Kreatif Memperkenalkan Zero Waste Cities pada Masyarakat di Kala Pandemi

Covid-19 mempengaruhi keberjalanan program Zero Waste Cities
Artikel Menarik