Pernahkan kita bertanya, apa sih yang sebenarnya membuat hidup kita berarti di dunia ? Tidak salah apabila jawabannya adalah kekayaan, jabatan, kehormatan dan kesehatan. Itu manusiawi sekali. Sebagai manusia pasti berharap itu semua.
Sedikit berbeda dengan kebanyakan orang, saya masih saja meyakini bahwa hidup menjadi berarti ketika kedua orang tua masih menemani hari-hari saya. Bisa mengabdi dan membahagiakannya. Rasanya itulah yang membuat saya berharga sebagai manusia. Sayang sekali, kesadaran itu muncul terlambat. Saya begitu menyesal, sangat menyesal !
Ayah ! Seminggu sebelum waktu yang telah ditetapkan-Nya, saya masih melihat senyum diantara guratan-guratan wajah yang sudah menua. seperti biasa, saya menanyakan bagaimana kesehatan ayah. Ayah tersenyum seolah melupakan rasa sakit yang dideritanya. Bahkan, meminta dipijat kaki dan tangannya. Juga minta dicebokin.
Sudah sekian lama ayah sakit. Sebelum sampai parah, masih saja dipaksakan untuk bekerja. Berbagai macam komplikasi penyakit telah membuat ayah semakin lemah. Hypertensi, gula darah dan tumor hati begitu kata dokter. Saya tidak bisa langsung menjaga dan merawat ayah karena harus ikut suami. Adek dan ibulah yang merawat. Seminggu sekali saya sempatkan menengok beliau.
Sebagai seorang anak, saya inginnya berbakti. Saya sering membujuk ayah tinggal bersama. Tetapi ayah lebih memilih untuk tinggal dirumah sendiri. Demi Allah, saya dan suami sesungguhnya senang bila ayah mengiyakan ajakan saya itu.
Empat hari sebelum kembali ke haribaan-Nya, ayah mengunjungiku. Ayah minta di masakan sayur lodeh. Saya melihat ayah begitu lahap menyantap sayur lodeh di temani cucunya, Arya, yang kala itu masih berumur 4 tahun. Saya menyembunyikan air mataku karena rasa senang dikunjungi ayah. Tak disangka itulah kunjungan terakhir ayah untukku.
Kamis siang jam 12.00, adek menelponku, “Mbak, ayah kritis !”. Ya Allah, aku menjerit dan menangis seketika. Saya langsung menelpon suami minta ijin untuk sesegera menjenguk ayah sendirian dan suami berangkat dari tempat kerjanya.
Perjalanan sampai ke rumah Ayah membutuhkan waktu hampir satu jam dan harus berpindah mobil omprengan dua kali. Waktu serasa berjalan melambat, sangat lambat. Saya tidak mungkin memaksa sopir menuruti kehendakku dan mengorbankan penumpang-penumpang lain.
Saya berdoa sebisa-bisanya sepanjang perjalanan yang serasa lambat itu. Ya Allah, tunda dulu engkau mengambil ayahku hingga aku bersimpuh dikakinya dan meminta maaf atas segala salah dan khilafku selagi ayah masih bisa mendengar. Itu pintaku !
Setengah jam berlalu, Selulerku kembali berbunyi lagi. “Mbak, Ayah wis ora ono (Ayah sudah tidak Ada)”, Kata adekku diujung telpon. Aku menangis tertahan diantara penumpang omprengan yang berdempet-dempetan. Sesampainya dirumah, saya langsung memeluk jasad ayah dan menangis sejadi-jadinya. Mohon ampun atas segala kesalahan dan kekhilafan kepada beliau. Saya sadar bahwa selama ini belum pernah bisa membahagiakannya. Walaupun tidak tidak sekelipun ayah memintanya.
Sepertinya Allah telah memberikan firasat sebelumnya. Sayang sekali, karena kedangkalan pemahaman saya tidak bisa menangkapnya secara sempurna. Permintaan ayah untuk dipijat, dicebokin dan dimasakkan sayur lodeh menjadi permintaan terakhirnya kepada saya. Seolah ayah mau bilang, “Ayah sudah menerima pengabdian dan balas budimu sebagai anak, nduk. Iklaskan ayah.” Semoga seperti itu adanya.
Saya seperti tidak berharga. Karena belum bisa membuat ayah bahagia. Bahkan di saat ajal menjemput pun tidak disampingnya. Andai saja Allah menginjinkan untuk meminta satu permintaan, maka saya pasti meminta Allah mengembalikan ayah dan kesehatannya. Walaupun nyawaku sebagai tebusannya. Saya rela !