Segera, Indonesia Menjadi Pusat Gravitasi Ekonomi Digital Asia Tenggara
The Internet is becoming the town square for the global village of tomorrow”. (Bill Gates)

Revolusi digital yang diawali dengan ditemukannya internet tahun 1982 telah mengubah wajah dunia. Interaksi antar negara mejadi terbuka, tanpa sekat-sekat dan batasan geografis hingga seolah seperti perkampungan besar dunia (borderless World). Semua instrumen kehidupan terkoneksi secara digital melalui teknologi komunikasi dan sistem informasi yang berjalan pada jaringan internet.
Pertumbuhan internet dunia memang sangat cepat. Sejak tahun 2000 hingga 2017, pertumbuhan internet dunia mencapai 933,8%. Saat ini dari 7,5 milyar penduduk dunia, 49,6%-nya merupakan pengguna internet. Pertumbuhan internet ini mendorong munculnya trend ekonomi baru yang disebut dengan ekonomi digital.
Internet Di Indonesia Pun Terus Tumbuh
Internet Indonesia yang awalnya hanya dinikmati oleh kelompok tertentu melalui paguyuban jaringan pada tahun 1990, juga mengalami trend pertumbuhan yang luar biasa. APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) mencatat bahwa selama kurun waktu lima tahun terakhir ini pertumbuhan pengguna internet sangat tinggi.
Tersebut pada statistik Indonesia, bahwa tahun 2011 pengguna internet Indonesia hanya 55 juta tetapi hingga tahun 2016 pengguna melonjak mencapai 132,7 juta, atau 40% dari total populasi nasional 258.316.051 jiwa.
Pertumbuhan ini menempatkan Indonesia pada posisi ke-5 dunia setelah China (731.434.547), India (462.124.989), Amerika (286.942.362), Brasil (139.111.185) tetapi di atas Jepang (118.453.595), Rusia (104.553.691), Nigeria (93.591.174) dan Jerman (71.727.551)
Data statistik hasil riset yang dilakukan oleh Google dan Temasek, untuk periode 2015-2020 proyeksi pertumbuhan rata-rata tahunan (CAGR) Indonesia adalah 19 persen. Pertumbuhan ini menjadi yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN, jauh melampaui Vietnam dan Filipina yang masing-masing hanya 13 persen dan 11 persen.
Pengguna internet di ASEAN sendiri saat ini mencapai 260 juta. Setiap bulan pengguna internet terus bertambah 3,8 juta, menghubungkan 700 juta perangkat baik ponsel pintar maupun PC. Dengan jumlah ini, masih menurut Google dan Temasek, ASEAN merupakan pasar kedelapan terbesar di dunia. Diprediksi, dengan CAGR 14 persen per tahun, pada 2020 pengguna internet di ASEAN akan mencapai 480 juta pengguna.
Internet & Potensi Ekonomi Digital Indonesia
Indonesia memang sedang mengalami pertumbuhan ekonomi yang lambat dalam lima tahun terakhir. Di lain sisi justru terjadi pertumbuhan industri digital di tengah perlambatan laju ekonomi tanah air tersebut sehingga memunculkan tren baru yang disebut dengan Digital Economy (Ekonomi Digital).
Terminologi New Digital Economy ini merujuk pada pengertian “Business transactions on the Internet: the marketplace that exists on the Internet“ atau transaksi dan pasar yang terjadi di dunia internet.
Potensi digital ekonomi di Indonesia memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Pertumbuhan pengguna internet tanah air yang didukung jumlah populasi penduduk dan Product Domestic Bruto (PDB) yang besar memberikan andil munculnya tren ini.
Selain pertumbuhan internet yang tinggi, ada beberapa indikasi lain yang dapat dijadikan bukti bahwa potensi ekonomi digital Indonesia memang besar, yakni :
Internet di Indonesia 35,1 %-nya dipergunakan untuk sektor perdagangan dan industri jasa 26,1%
49% pegguna internet di Indonesia didominasi oleh kelompok umur 18 -25 tahun yang cenderung konsumtif
85% pegguna di Indonesia mengakses internet melalaui telepon seluler
Mayoritas pengguna internet didominasi oleh 56% berstatus sebagai karyawan dan 27% adalah wirausaha
Sedikit melihat histori, ekonomi digital di Indonesia diawali dari munculnya penyedia akses internet pertama di Indonesia, yakni Indonet di tahun 1994.
Setelah itu barulah muncul situs seperti Kaskus, Tokobagus, kemudian penetrasi jaringan 3G di 2006, lalu layanan pembayaran Doku pada tahun 2007. Gojek-nya Nadiem Makariem hadir pada tahun 2010 dan tahun-tahun selanjutnya hadir pula tiketdotcom, traveloka dan sebagainya.
Berbicara mengenai industri ini memang tidak semata membicarakan jual beli barang dan jasa via internet, tetapi juga terkait dengan bisnis lain yang terkait seperti Fintech (Financial Technology), On Demand Service dan layanan-layanan publik lainnya dalam kerangka IOT (Internet of things).
E-commerce
E-commerce adalah industri yang paling cepat pertumbuhannya di Indonesia. Dalam industri ini, Indonesia sudah punya modal dasar berupa volume pasar yang sangat besar dengan jumlah populasi lebih dari 250 juta jiwa.
Dalam Statistik Indonesia hasil sensus ekonomi yang dirilis oleh BPS, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2006-2016) terdapat 26,2 juta e-commerce di Indonesia dengan konsumen e-commerce yang terus meningkat.
Tahun 2012 masyarakat yang membelanjakan uangnya di situs jual beli online hanya 3,1 Juta orang dan pada tahun 2016 jumlahnya menjadi 8,7 juta orang.
Nilai transaksi e-commerce Indonesia pun naik hingga 500% dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini.
Data eMarketer menunjukkan pada tahun 2014, transaksi e-commerce Indonesia mencapai Rp 25,1 dan naik menjadi Rp 65,2 trilliun pada 2016. Jumlah transaksi diprediksi mencapai 144,1 trilliun pada tahu 2018 nanti.
Selain kemudahan akses internet, pertumbuhan jumlah e-commerce dan konsumen belanja online ini dipengaruhi juga oleh berbagai faktor.
Dalam bisnis e-commerce ini, berdasarkan brand popularity index W&S Indonesia Digital Marketing yang dirilis Agustus 2016 berturut-turut adalah Lazada (26.4), Tokopedia (19.9), Bukalapak (13.2), OLX (10.7) dan Elevenia (6.7).
Selain 5 brand e-commerce di atas, masyarakat mengenal juga Bhinneka, Blibli, Mataraharimall, blanjadotcom, shopback dan masih ada ribuan lainnya.
Perubahan Paradigma & Struktur Masyarakat
Tumbuhya 55 juta masyarakat kelas menengah di Indonesia yang konsumtif dan suka berbelanja. Dilain sisi telah terjadi perubahan paradigma perlahan lebih menyukai berbelanja secara online yang bukan karena pertimbangan harga tetapi lebih kepada kemudahan dan penghematan waktu.
Pengguna Smartphone Tinggi
Tingginya pengguna smartphone di Indonesia yang didukung dengan harga telepon seluler yang murah. Saat ini pengguna smartphone mencapai 100 juta. Fakta menarik, 43% konsumen e-commerce melakukan belanja melalui smartphone, Notebook 15% dan tablet 4%. (Survey Google-Tamasek)
Sistem Pembayaran Non Tunai (Cashless)
Hampir rata-rata e-commerce menerapkan kemudahan pembayaran dengan sistem pembayaran non tunai (Cashless) . Sistem pembayaran ini telah menjadi gaya hidup masyarakat Indonesia saat ini.
On Demand Service
Pertumbuhan pengguna internet di Indonesia juga memotivasi anak negeri untuk membuat sesuatu hal baru dalam dunia digital dengan yang disebut Startup.
Menurut Daily Social, setidaknya hingga saat ini terdapat lebih dari 2.000 startup lokal yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok besar yakni games, edukasi dan e-commerce termasuk di dalamnya adalah on-demand service. Jumlah startup lokal ini merupakan yang tertinggi di ASEAN di tahun 2016 dan diprediksi akan naik 6.5 lipat pada tahun 2020.
Tumbuhnya startup lokal ini menunjukkan bahwa Indonesia mempunyai potensi ekonomi digital yang tinggi serta menjadi daya tarik bagi masuknya investasi ke dalam negeri yang jumlahnya tidak sedikit.
Hingga tahun 2016, jumlah pendanaan (investasi) startup lokal mencapai 2,1 Trilyun. Jumlah ini menempati posisi kedua di ASEAN di bawah Singapura sebagai negara penerima investasi terbesar bagi startup lokal.
Dari banyaknya startup yang bermunculan, salah satu kategori yang banyak menarik minat anak negeri adalah Startup On Demand, terlebih lagi ketika melihat kesuksesan Go-Jek sebagai Startup transportasi on demand yang populer di Indonesia yang sukses mendapat pendanaan sebesar 550 Juta US pada tahun 2016. Selain Go-Jek, startup on demand yang hadir dalam industri digital adalah Go-Box (Go-Jek), Grab, Ruangguru, Sejasa, CrazyClean, Etobee, Blue-Jek, Arkos, Jet, Go-Clean, Ahli Jasa, Go-Maid, Tukang Bersih, Seekmi, Halo Diana, YessBoss, Tulungin dan masih banyak lagi.
Financial Technology
Munculnya Fintech merupakan fenomena yang tak terhindarkan dan pertumbuhannya pun tak terbendung. Ruang lingkup usaha Fintech di Indonesia terbagi dalam tiga segmen, yakni bidang pembayaran digital, pembiayaan bisnis dan pembiayaan personal.
Hingga 2017, terdapat 153 perusahaan finansial teknologi (Fintech) di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 40% bergerak di bidang jasa pembayaran, sedangkan 23% di bidang usaha pinjaman dan 12% di bidang usaha aggregator. Sementara startup finansial di bidang usaha perencanaan mencapai tujuh persen dan crowdfunding juga tujuh persen.
Transaksi Fintech Indonesia pada tahun 2017 ini diperkirakan mencapai US$ 18,6 miliar atau setara Rp 247,65 triliun. Angka ini meningkat 24 persen dari perkiraan tahun sebelumnya, yakni sebesar US$ 15 miliar. Menurut data statista, transaksi Fintech Indonesia akan mencapai US$ 37,15 miliar atau sekitar Rp 494 triliun.
Kehadiran Fintech di Indonesia sangat membantu konsumen baik perorangan maupun UMKM-UMKM dalam memenuhi kebutuhan finansialnya.
Saat ini terdapat 11 juta usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang bankable (mendapat pembiayaan perbankan). Sementara 49 juta UMKM masih unbankable (belum bisa mendapat pembiayaan dari perbankan). Banyaknya UMKM yang belum tersentuh perbankan serta geografi wilayah yang berbentuk kepulauan membuat potensi fintech Indonesia masih akan tumbuh.
Dampak positif dengan hadirnya Fintect di Indonesia adalah :
Kemudahan Pelayanan Finansial
Proses transaksi keuangan menjadi lebih mudah dan aman. Nasabah dapat mengakses pelayanan finansial melalui teknologi seperti ponsel pintar maupun laptop tanpa harus mendatangi kantor bank.
Melengkapi Rantai Keuangan
Peranan Fintech bukan sebagai pengganti bagi bank konvensional, melainkan sebagai pelengkap rantai transaksi keuangan. Hadirnya Fintech memperkuat ekosistem keuangan di Indonesia karena bisa meningkatkan daya beli masyarakat terhadap produk-produk finansial.
Meningkatkan Taraf Hidup
Fintech memudahkan Masyarakat Berpenghasilan Rendah mendapatkan pinjaman dana tunai hingga pembayaran dengan cara mudah. Oleh sebab itu hadirnya Fitech meningkatkan taraf hidup serta kesejahteraandan mendorong perekonomian Indonesia dalam mengentaskan kemiskinan.
Internet of Things
Indonesia tidak hanya memiliki potensi yang besar di dalam sektor e-commerce, On Demand Service dan platform pembayaran (Fintech) akan tetapi juga pada Internet of Things (IoT).
Internet of Thing adalah sebuah konsep dimana suatu objek yang memiliki kemampuan untuk mentransfer data melalui jaringan tanpa memerlukan interaksi manusia ke manusia atau manusia ke komputer.
IoT berkontribusi banyak dalam memudahkan kehidupan manusia dari sisi otomatisasi yang di negara kita dan kini banyak diterapkan dalam konsep smart cities dan smart homes.
Dengan semakin berkembangnya penduduk da pegguna internet, Indonesia diprediksikan akan memiliki perangkat IOT sebesar 1,2 kali populasi penduduk Indonesia di tahun 2020. Kalau prediksi ini terbukti, maka bisa jadi pasar IoT akan melebihi pasar e-commerce.
Kini semakin banyak startup teknologi di Indonesia yang telah bermain di ranah Internet of Things yang bergerak pada semua bidang kehidupan masyarakat.
Beberapa diantaranya adalah Aplikasi Qlue yang telah dipergunakan Jakarta, eFishery yag baru saja mendapatkan pendanaan pra-seri A dari Aqua-Spark (sebuah perusahaan investasi akuakultur dari Belanda, dan perusahaan pendanaan lokal Ideosource).
Ada juga C.I-Agriculture yang membantu petani dalam mengelola lahan garapan mereka dan Cubeacon yang memanfaatkan teknologi iBeacon yakni alat pemancar Bluetooth yang bisa digunakan oleh para pebisnis menyebarkan informasi promosi produk atau layanannya dengan praktis, mudah dan efektif.
Dukungan Pemerintah
Pertumbuhan ekonomi nasional saat ini memang tidak terlepas dari semaraknya perdagangan dan layanan elektronik dalam kerangka ekonomi digital.
Untuk membangun ekosistem yang semakin kodusif serta mendorong perluasan dan efisiensi bisnis elektronik dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai negara digital ekonomi terbesar di Asia Tenggara pada 2020, pemerintah mengeluarkan peta jalan (roadmap) industri e-Commerce yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi jilid-14.
Latar belakang keluarnya paket kebijakan ekonomi jilid 14 ini adalah karena:
Pertama, Indonesia memang belum mempunyai roadmap pengembangan e-commerce nasional yang menjadi acuan pemangku kepentingan;
Kedua, masih adanya berbagai peraturan yang tidak mendorong tumbuh kembangnya e-Commerce.
Berikut poin-poin kebijakan pemerintah tersebut :

Kesimpulan
Ekonomi digital di Indonesia berkembang dalam 4 (empat) pilar utama yakni E-Commerce, On-Demand Service, Financial Technologi dan Internet of Things. Dengan empat pilar ini, potensi digital Indonesia mamang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Didukung jumlah pengguna internet, faktor demografi dan PDB yang besar Indonesia mempunyai potensi yang besar menjadi pusat ekonomi digital di ASEAN tahun 2020, seperti yang telah ditargetkan oleh pemerintah.
Paket kebijakan ekonomi ke-14 (National e-commerce roadmap) mempunyai makna strategis yang akan memandu pemerintah dan pelaku bisnis ekonomi digital dalam mewujudkan keinginan menjadi pusat pasar ekonomi digital di ASEAN ini.
Roadmap ini merupakan solusi atas beberapa permasalahan dasar terkair dengan permodalan, perpajakan, infrastruktur, logistik, keamanan dan kapabilitas SDM.
Jadi, segera Indonesia akan menjadi pusat gravitasi ekonomi digital di ASEAN tahun 2020.