Duh, Ternyata Masih Ada Kusta di Kotaku!
Hingga tahun 2020, jumlah kasus kusta atau lepra di Indonesia sebanyak 18.000 kasus. Jumlah tersebut berasal dari 341 kota/kabupaten, termasuk dari kotaku, Brebes. Apa itu kusta dan bagaimana sebenarnya perawatan diri terhadap kusta?
Kalau Anda dari arah Jakarta mau ke Semarang melewati jalur darat Pantura, Anda pasti akan melewati kota Brebes. Ya, itu kota kelahiran saya yang selama ini populer dengan legenda “Jaka Poleng”, bawang merah, sate blengong, kerupuk tulang bandeng, dan telur asin.
Dari 29 kabupaten dan 6 kota di Jawa Tengah, Brebes merupakan kabupaten dengan jumlah penduduk terbanyak. Menurut sensus penduduk BPS September 2020, jumlahnya mencapai 1.98 juta jiwa. Dengan wilayah 1.770 km², jumlah penduduk ini menempatkan Brebes masuk dalam mode Bonus Demografi.
Seperti daerah lain pada umumnya, Brebes juga sedang berjuang menghadapi berbagai permasalahan wilayah. Yang paling menonjol adalah kemiskinan dan kesehatan.
Angka kemiskinan di Brebes tahun 2020 masih relatif tinggi yakni 17.03% dari total pupulasi, naik 0,8% dibanding tahun sebelumnya (16,22%.).
Nah, di antara kabupaten/kota lain di Jawa Tengah, Brebes masuk dalam 3 (tiga) besar kabupaten dengan tingkat kemiskinan tertinggi, setelah Kebumen dan Wonosobo.
Kalau mempelajari data BPS, salah satu faktor yang mempengaruhi angka kemiskinan ini adalah garis kemiskinan (GK). Selama periode 2019-2020, Garis Kemiskinan di Brebes naik sebesar 4,16% yaitu sebesar Rp 414.642,- per kapita per bulan menjadi Rp 431.897,- per kapita per bulan.
Nampaknya kemiskinan di Brebes berkontribusi terhadap munculnya masalah-masalah lain seperti masalah gizi dan kesehatan masyarakat.
Walaupun telah terjadi perbaikan layanan dan fasilitas kesehatan dalam beberapa tahun terakhir ini, namun masih dijumpai permasalahan gizi buruk di beberapa wilayah.
Berdasarkan data Brebes Dalam Angka 2021, setidaknya telah ditemukan 299 kasus kasus gizi buruk sepanjang tahun 2020. Dan, yang paling mengagetkan adalah, ternyata masih ada kusta di Brebes.
Brebes, Episentrum Kusta di Jawa Tengah

Melihat pemetaan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Brebes, tahun 2020 di temukan kasus baru kusta sebanyak 165 kasus. Hingga saat ini total ada 267 warga yang menderita penyakit kusta, dan terus bertambah.
Jumlah ini ini menjadikan Kabupaten Brebes menempati peringkat pertama dari 35 kabupaten/kota, bahkan disebut-sebut sebagai episentrum kusta di Jawa Tengah dalam satu dekade terakhir.
Kusta menjangkiti masyarakat di 17 wilayah Kecamatan, terutama di wilayah tengah (terbanyak di Banjarharjo) dan utara. Sedangkan di wilayah selatan (dari Salem, Tonjong hingga Bumiayu), kasus kusta walaupun ada namun tidak terlalu banyak jumlahnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, dari jumlah kusta tersebut 7 orang dinyatakan menderita kusta kusta kering atau Pausibasiler (PB). Sedangkan, 260 sisanya berstatus penderita kusta basah atau Multibasiler (MB). Yang menarik adalah, penderita kusta di Brebes tidak hanya didominasi orang dewasa. Faktanya, beberapa di antaranya diderita oleh anak usia 11 tahun.
Penemuan Penderita Baru Kusta di Jawa Tengah
(Buku Saku Kesehatan Jawa Tengah – Tahun 2020)
Tingginya kasus kusta di Brebes ini menjadi pertanyaan besar saya. Kok bisa? Apa penyebabnya?
Dari bincang-bincang dengan teman sekolah yang kini menjadi ASN di diskes Brebes saya jadi paham bahwa salah satu alasan tingginya kusta di Brebes dipicu lingkungan yang kurang bersih yang berpotensi menularkan bakteri penyebab kusta.
Hal ini memang saya buktikan sendiri di sekitar lingkungan salah satu penderita kusta yang tinggal di wilayah Kelurahan Limbangan Kulon, hanya berjarak 3 km dari tempat tinggal saya.

Sosialisasi Kusta – Foto matapantura.com
Selain itu, tingginya kusta di Brebes juga karena banyak penderita kusta yang tidak tuntas dalam mengikuti pengobatan. Sebagian dari penderita tidak mau mengikuti pengobatan dalam jangka waktu lama yang umumnya membutuhkan waktu hingga 12 bulan. Tentu saja hal itu menjadi salah satu kendala dalam proses penyembuhan penyakit kusta yang dideritanya.
Oleh karena itu pemerintah daerah yang dimotori oleh dinkes melalui puskemas-puskesmas di setiap kecamatan terus menggencarkan kampanye Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) melalui penyuluhan dan edukasi ke semua warga dan berbagai kesempatan.
Beberapa kali saya sendiri juga mengikuti penyuluhan tentang kusta tersebut secara online melalui group-group WA yang diinisiasi oleh puskesmas dan dinkes.
Bagi penderita, pemerintah juga terus melakukan sosialisasi, penangan dan pendampingan, terutama bagi mereka yang sudah tertular untuk serius menjalani pengobatan agar bisa memutus mata rantai penyebaran kusta.

Pendampingan Penderita Kusta – Foto radartegal.com
Mungkin anda bertanya, sebenarnya, penyakit apa sih kusta itu, apa gejala-gejalanya, apakah bisa sembuh, dan bagaimana perawatan diri agar tidak tertular kusta?
Penyakit Tertua di Dunia yang Lekat dengan Mitos-Mitos
Bisa jadi generasi sekarang masih banyak yang belum mengenal penyakit kusta, asal-usul, gejala, dampak sosial-ekonomi bagi penderita hingga cara pengobatanya. Padahal, kusta atau disebut juga dengan lepra masih menjadi masalah kesehatan di banyak negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Setiap tahun, lebih dari 200,000 orang terdiagnosa kusta di dunia, dan sekitar 17,000 orang di antaranya berada di Indonesia. Negara kita bahkan menduduki peringkat ketiga dalam jumlah penderita kusta terbanyak di dunia setelah India dan Brasil. Angka pravelensi dan temuan kasus baru relatif masih tinggi di Indonesia.
Nah, dengan mengetahui lebih banyak tentang kusta, kita sebagai generasi muda bisa lebih aware lagi dengan penyakit menular ini dan dapat berperan aktif dalam mewujudkan Indonesia bebas kusta 2024.
Angka Pravelensi dan Temuan Kasus Baru Kusta di Indonesia
(Per 100.000 penduduk – Data Kemenkes RI)

Di antara berbagai penyakit menular, kusta yang gejalanya mirip dengan panu ini adalah penyakit tertua yang menjangkiti manusia. Ia sudah ada sejak jaman purba. Dalam sebuah uji genetika memperkirakan penyakit ini sudah diderita manusia sejak 100.000 tahun yang lalu. Nah, saking lawasnya penyakit ini, sampai-sampai WHO melebeli penyakit tropis ini sebagai penyakit yang terabaikan alias penyakit ini ada tetapi tidak lagi menjadi perhatian.
Berstatus sebagai penyakit tertua yang sudah ada sejak jaman purba, dalam perkembangannya kusta lekat dengan mitos-mitos bahwa kusta adalah penyakit karena kutukan, guna-guna (santet), penyakit keturunan bagi orang miskin dan hanya dialami orang dewasa dan sebagainya. Sehingga penderita harus dikucilkan.
Namun mitos tentang kusta itu dipatahkan sejak ditemukan penyebabnya secara sains. Penyebab penyakit yang menyerang kulit, sistem saraf perifer, selaput lendir saluran pernafasan atas, mata dan dapat menyebabkan seseorang mengalami mati rasa atau kebas ini ditemukan pada 1873 oleh ilmuwan Norwegia, Gerhard Henrik Armanuer Hansen.

1550 SM
Tulisan “Kusta” diketahui terdapat dalam dokumen papirus di Mesir
Ternyata, kusta (atau sering disebut lepra atau morbus hansen) ini adalah penyakit akibat infeksi dari bakteri Mycobacterium leprae yang membutuhkan waktu lama untuk berkembang di dalam tubuh manusia.
600 SM
Ditemukan dalam tulisan berbahasa India dengan istilah Sanksekerta “Kustha (menggerogoti)”
1873
Bakteri penyebab kusta diidentifikasi oleh Dr. Gerhard Henrik Armanuer Hansen, seorang ilmuwan dari Norwegia
31 Januari
Diperingati sebagai hari kusta sedunia
Penemuan Kerangka Tertua Penderita Kusta
Kerangka tertua diduga milik penderita kusta ditemukan di kawasan Balathal, India, yakni 40 kilometer di timur laut Udaipur, negara bagian Rajasthan. Uji karbon yang dilakukan oleh Gwen Robbins dan kawan-kawan, termuan dari penggalian pada kurun 1994-1997 tersebut mendapati hasil perkiraan asal kerangka berasal dari 2000-2500 SM. Itu artinya, usia kerangka setidaknya 4.000 tahun. Namun, uji genetika memperkirakan penyakit kusta ini sudah diderita manusia sejak 100.000 tahun yang lalu dengan sebarannya tak terbatas di benua atau ras tertentu semata
Sumber – kompas.com / Palupi Annisa Auliani)
Penyakit Menular Tetapi Sulit Menular
Walaupun kusta masuk dalam golongan penyakit menular namun ternyata tidak mudah untuk menular. Resiko penularan hanya terjadi 2 dari 100 orang. Itu pun kalau seseorang mempunyai tingkat kekebalan tubuh dan gizi yang sedang menurun.
Penularan memang memungkinkan terjadi melalui saluran pernapasan atas. Itu pun jika terjadi kontak terus menerus dan berulang-ulang dengan penederita kusta yang belum berobat. Jadi, kalau hanya bersentuhan sekali atau dua kali saja dengan penderita kusta, penularan bakteri sangat kecil, atau bahkan malah tidak akan menular sama-sekali.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh dr. Udeng Daman, Technical Advisor Program Pengendalian Kusta NLR Indonesia, dalam acara Talkshow Ruang Publik KBR dengan tema Melihat Potret Kusta di Indonesia, Senin 19 April 2021.
Dalam talkshow yang dipandu oleh Naomi Lyndra dan disiarkan langsung melalui channel youtube Berita KBR ini beliau juga mengatakan, bahwa hal lain yang menjadikan seseorang sulit tertular bakteri Mycobacterium Leprae penyebab kusta ini juga karena bakteri ini mempunyai masa inkubasi yang relatif lama.
Dari masuk ke tubuh seseorang hingga menjadi gejala membutuhkan waktu rata-rata 2-5 tahun. Dalam beberapa kasus bahkan sampai 10 tahun atau lebih.
Bila seseorang memiliki gaya hidup sehat, memiliki tempat tinggal dengan sanitasi yang baik, serta langsung berobat ke dokter bila merasa memiliki gejala maka bakteri tersebut bisa diobati dan tidak akan menular lagi.

Ketahui Jenis dan Gejala Kusta
WHO mengklasifikasikan kusta atau lepra ini menjadi dua tipe yaitu Pausibasiler (PB) dan Multibasiler (MB). Keduanya memiliki ciri-ciri yang berbeda.
Gejala kusta kering atau Pausibasiler umumnya hampir mirip dengan penyakit panu yakni adanya bercak putih kering yang muncul di beberapa bagian tubuh. Selain itu jika seseorang memeriksa diri ke laboratorium, maka hasil pemeriksaan bakteriologis akan menunjukkan simbol negatif dan penyakit ini tidak menular.
Nah, kalau kusta basah atau Multibasiler umumnya mempunyai ciri-ciri yang hampir sama dengan kusta kering namun dengan tepiannya berwarna kemerahan. Jika seseorang terkenal bakteri ini maka ketika sedang berkeringat bagian dari kusta basah ini tidak akan ikut berkeringat.
Selain itu bila disentuh rasanya seperti mati rasa (kebas). Dari dua jenis kusta ini, kusta basah ini yang mudah untuk menular kepada orang lain, dengan catatan kontak berulang-ulang dengan kurun waktu yang lama.
Dan dari kedua jenis kusta tersebut, ciri-ciri lainnya adalah adanya penurunan berat badan secara signifikan, rambut rontok, persendian terasa nyeri, berubahnya bentuk wajah, otot melemah atau yang paling parah mengalami kelumpuhan, muncul luka dan bisul tapi tidak terasa sakit, munculnya ruam
Gejala Kusta – Foto shutterstock
Penderita Kusta – Foto perdoski.id


Bisa Sembuh dan Terhindar dari Kecacatan Bila Terdeteksi Serta Diobati Sejak Dini
Selama talkshow, dr. Udeng Daman pun menegaskan bahwa kusta bisa disembuhkan dengan pengobatan yang tepat. Fisik pasien mungkin tidak bisa pulih seutuhnya kalau sudah terlanjur ada cacat akibat kerusakan saraf karena tidak segera diobati.
Penegasan dr. Udeng Daman ini sekaligus mengeliminir ketidaktahuan banyak orang yang mengira kusta tidak dapat diobati. Padahal, kusta bisa diobati total, dan obatnya pun disediakan gratis oleh pemerintah Indonesia yang dipasok oleh WHO.
Penderita kusta dapat terhindar dari kecacatan, asalkan, penyakit ini terdeteksi sedini mungkin dan segera diobati. Pengobatan kusta menggunakan kombinasi antibiotik (Multi Drug Therapy – MDT), seperti Rifampicin, Dapsone, dan Clofazimine. Namun, pengobatan kusta memang harus tuntas. Untuk kusta kering (PB) setidaknya membutuhkan waktu selama 6 (enam) bulan dan kusta basah (MB) kurang lebih selama 12 (dua belas) bulan. Itulah kenapa partisipasi keluarga dan lingkungan sekitar sangat dibutuhkan dalam prosesnya.
Pasien kusta yang telah meminum dosis pertama MDT tidak lagi memiliki daya tular. Namun proses atau tata laksana pengobatan kusta harus disiplin, kontinyu, tidak boleh terpotong dan dengan dosis yang tepat. Bila tidak, sangat memungkinkan terjadi konsekwensi . Begitu penjelasan beliau.
Bagi penderita yang sudah mengalami komplikasi ke bagian organ lain, pengobatannya harus berkolaborasi atau berkoordinasi antar disiplin ilmu kedokteran yang terkait, saraf seperti dokter mata, bedah ortopedi, dan rehabilitasi medik.

Jamaludin, Penderita Kusta di Limbangan Kulon, Brebes – Foto detakjateng.co.id
Dari semua proses penanganan kusta yang paling diupayakan pencegahanya adalah kecacatan permanen. Maka pendeteksian sedini mungkin dan pengobatan teratur sampai tuntas adalah cara untuk memastikan kecacatan itu dapat dicegah.
Bila tidak, kecacatan tak bisa dipulihkan meski penderita kusta telah dinyatakan sembuh. Sedangkan untuk penderita kusta yang telah dinyatakan sembuh -apa pun kondisinya-, bakteri pembawa penyakit ini dipastikan telah mati. Kekambuhan hanya terjadi bila paparan bakteri yang sama terjadi lagi, saat kondisi ketahanan tubuh rapuh.

Program "Suka - Suara Untuk Kusta" NLR Indonesia
Ketahui lebih banyak tentang kusta / lepra melalui “program SUKA-Suara Untuk Kusta” dari NLR Indonesia, yakni LSM yang mendorong pemberantasan kusta dengan pendekatan tiga zero, yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas) dan zero exclusion (nihil eksklusi).
Bantu Mereka Berdaya, Keluar Stigma dan Diskriminasi Yang Tak Berkesudahan
Kusta nyasar kepada siapa saja. Adakalanya orang lain memiliki reaksi spontan seperti jijik, takut, dan enggan berdekatan dengan penderita atau mantan penderita. Masalahnya terletak pada pehamahan atas penyakit ini. Maka itulah yang menyebabkan stigma.
Mau tak mau, bukan hanya mereka yang belum sembuh, mereka yang sudah sembuh dari penyakit ini pun masih menanggung berbagai beban dari mitos salah kaprah sebagian orang. Mereka menjalani pedihnya stigma dan diskriminasi dalam waktu bersamaan yang tak berkesudahan..
Stigma memang menjadi tantangan tersendiri bagi penderita dan mantan penderita kusta. Apalagi ketika urusannya untuk tetap berdaya. Ini yang mengakibatkan mereka seperti kaum minoritas yang terbuang dan tertutup segala aksesnya secara ekonomis. Padahal penderita kusta dan disabllitas pun sebenarnya bisa berdaya dengan pelatihan-pelatihan tertentu.
Butuh dukungan keluarga, lingkungan dan berbagai pihak agar mereka berdaya dan benar-benar keluar dari stigma yang tak berkesudahan itu.
Pemerintah sendiri telah mengatur aktivitas yang berpotensi ekonomi (pekerjaan) bagi penyandang disabilitas dengan adanya Undang-undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas, terutama pada bagian keempat mengenai Pekerjaan, Kewirausahaan, dan Koperasi. Pasal 53 pada undang-undang tersebut berbunyi :
1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah wajib mempekerjakan paling sedikit 2% penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja; 2) Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1 persen (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja;

Pelatihan Penderita Kusta – jatengprov.go.id
Kuota untuk memberi kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas pun lebih tegas lagi diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang disabilitas, terdapat dalam Pasal 28. Bunyinya:
Pengusaha harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 (satu) orang penyandang disabilitas yang memenuhi persyaratan jabatan dan kualifikasi pekerjaan sebagai pekerja pada perusahaannya untuk setiap 100 orang pekerja perusahaannya”. (Pasal 28 Peraturan Pemerintah RI Nomor 43 Tahun 1998 Tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Disabilitas)
Ketentuan ini sudah banyak diadopsi baik di lingkungan pemerintahan dan swasta. Dalam setiap seleksi CPNS, penyandang diabilitas pun mendapatkan porsi tersendiri. Begitu pula di perusahan-perusahaan swasta.
Kuota 1% karyawan penyandang disabilitas dari keseluruhan jumlah pekerja di perusahaan pun sudah banyak praktikkan. Salah satunya adalah perusahaan sekelas United Tractor yakni perusahaan penyedia mesin kontruksi dan alat berat di Indonesia.
Hal ini disampaikan sendiri oleh Monika Sinta, Team Leader CSR PT. United Tractor, yang juga menjadi salah satu pembicara pada kegiatan Talkshow Melihat Potret Kusta di Indonesia bersama NLR Indonesia dan KBR.

Monika SInta – Youtube NLR Indonesia

Baca Artikel Menarik !
Mengapa Desa Sahabat Kusta? Berarti pernah tidak bersahabat? Memang demikian. Sebelum tahun 2012, di Desa Rap Rap, Kabupaten Minahasa Utara, mereka yang terkena kusta mengalami stigma dan penyingkiran.
Akhir Tulisan
Akhirnya, terima kasih telah membaca artikel ini. Artikel yang saya maksudkan untuk ikut serta dalam menyuarakan kusta di Indonesia sebagai bagian dari kampanye Suka – Suara Untuk Kusta, NLR Indonesia.
Lain dari pada itu, artikel ini juga sebagai bentuk dukungan kepada pemerintah Brebes yang terus berupaya mengeliminasi penyakit kusta demi tercapainya target Indonesia #BebasKusta2024, sebagai revisi target yang sama tahun 2020 yang terhambat karena pandemi covid-19
Sebagai informasi saja, bahwa berdasarkan Sistem Informasi Penyakit Kusta tahun 2020 Kemenkes Republik Indonesia, saat ini tersisa 6 (delapan) propinsi saja yang masih berupaya mengeliminasi kusta yakni Gorontalo, Maluku Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Maluku, Papua dan Papua Barat.
Semoga bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan.