Boleh Dicoba! 5 Cara Saya Membatasi Screen Time Pada Anak
Kehadiran anak di tengah-tengah keluarga adalah kebahagiaan yang tiada tara. Mereka adalah kegembiraan hidup, pelipur lara dan duka yang diharapkan menjadi penyambung garis keturunan, penerus tradisi keluarga, serta menjadi jaminan hari tua ketika orang tua sudah tak berdaya.
Sebagai seorang wanita, saya merasa tersanjung karena mendapatkan anugerah itu dan berhak menyandang predikat sebagai seorang ibu. Tuhan Yang Maha Pemurah berkenan mengabulkan doa saya. Doa yang saya panjatkan sedetik setelah suami mengucapkan ‘Qobilthu Nikaha’ dihadapan penghulu bahwa saya ingin dikaruniani anak tiga. Ya anak tiga bukan dua.
Setahun menunggu, kebahagiaan itu hadir dengan lahirnya anak pertama yang disusul anak kedua 4 tahun kemudian, serta anak ketiga yang berjarak 12 tahun dengan kakaknya. Ya tiga. “Sendang kapit pancuran” kata orang Jawa yang artinya anak perempuan berada di tengah anak laki-laki.
Rasa syukur selalu terlantun dalam doa di sujud simpuh saya karena mereka tumbuh sehat, lebih-lebih pada anak ketiga, Amarendra. Ia sangat spesial bagi keluarga. Bukan karena statusnya sebagai anak bontot alias “waruju”, namun karena perjuangannya untuk hidup saat kelahirannya.
Ya. Saya sempat mengira ia terlahir tak sempurna, memiliki cacat tubuh dan mental, mengalami speech delay, dan sebagainya. Bagaimana tidak, Ia satu-satunya yang terlahir prematur ketika usia kandungan tujuh bulan. Ketuban pecah lebih dulu tanpa saya sadari ketika perut ‘bergejolak’ yang saya pikir saat itu adalah kontraksi palsu.
“Lha kok baru dibawa ke sini bu. Ini sudah bukaan 9, loh.” Kata perawat saat itu.
Posisinya pun sungsang yang memaksa dokter melakukan tindakan C-Section dengan segera. Setelah lahir, ia juga harus tertahan 30 hari di NICU karena tubuhnya menguning yang disebabkan fungsi hatinya belum cukup berkembang untuk membuang “bilirubin” dari darah.
Namun kekhawatiran itu hilang setelah melihat pertumbuhannya. Amarendra yang kini berumur 4 tahun tumbuh sempurna tak kurang suatu apapun. Ia aktif bergerak, belajar apapun dari yang dilihat dan didengarnya.
Ia sudah hafal Al-Fatihah, takbir lebaran, doa-doa pendek, dan beberapa lagu anak-anak dan perjuangan. Kalau menyanyikan lagu Indonesia Raya suaranya terdengar hingga ke tetangga sebelah saking kerasnya.
Mengenalkan Pada Gadget
“Ren, TV-nya diganti berita ya. Aren lihat “AkuDav” atau main gim di handphone ibu saja.” kata saya.
Mendengar kata-kata itu, ayahnya sempat melarang. Ia berdiri dan berniat mengambil handphone yang sudah dipegang Amarendra namun saya cegah dengan halus.
“Biarkan, mas.” Kata saya sambil menggelengkan kepala. Itu awal Amarendra mengenal gadget.
Ya. Saya termasuk ibu yang moderat. Mereka semua lahir di era yang berbeda dengan era bapak-ibunya.
Tak mungkin saya melarang anak-anak saya mengenal gadget dan teknologi. Justru gadget dan teknologi harus saya perkenalkan kepada anak-anak sejak dini, termasuk kepada Amarendra, agar tidak gagap teknologi. Kelak ketika dewasa hidup mereka pun akan bersentuhan dengan gadget dan teknologi digital.
“Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”. Kata Ali bin Abi Thalib RA.
Saya merasa gadget memberi dampak positif bagi proses perkembangan Amarendra mulai dari merangsang ketrampilan motorik hingga melatih cara berfikir kreatifnya.
Saya suka memandangnya ketika dia bermain gim online Roblox kesukaannya. Ia bermain gim seperti orang dewasa. Tangannya sangat lincah menggerakkan avatar dirinya di gim itu. Wajahnya pun sangat ekspresif. Lucu dan menggemaskan.
Ia kadang berteriak seperti memberi perintah atau menyemangati dirinya sendiri, seolah seolah ada sesuatu yang sangat serius sedang terjadi.

Dampak Paparan Gadget (Screen Time)
Namun saya juga sadar kok bahwa betapapun bermanfaatnya gadget, di sisi lain paparan gadget (screen time) berpotensi membuat anak jadi “ketagihan” yang mengganggu perkembangan mental, emosi dan sosial. Anak cenderung menjadi pribadi tertutup, mengalami gangguan tidur, suka menyendiri, berperilaku agresif, menurunya kreativitas, dan rentan terhadap cyberbullying.
Speech delay adalah kondisi anak yang belum memiliki kemampuan mengucapkan sejumlah kosakata di usia tertentu dari yang seharusnya ia sudah bisa dilakukan. Selain itu anak juga belum mampu memahami apa yang dikatakan oleh orang lain. Dalam bahasa yang sederhana speech delay adalah keterlambatan bicara dan bahasa pada anak.
Para ahli membagi speech delay dalam dua klaster yakni fungsional yakni klaster ringan yang terjadi karena kurangnya stimulasi atau pola asuh yang salah, dan non-fungsional akibat adanya gangguan bahasa reseptif, seperti autism ataupun ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) yang dialami anak.
Keterlambatan bicara dan memahami bahasa pada anak memang bukan hanya speech delay. Ada pula istilah apraksia bicara atau speech apraxia.
Meskipun sama-sama fenomena keterlambatan bicara dan bahasa pada anak, namun kedua berbeda. Perbedaan keduanya dapat diketahui lebih lanjut pada artikel menarik berjudul “Pahami Perbedaan Speech Delay dan Apraksia pada Anak“.
Penelitian di Amerika yang dilakukan Catherine Birken, dokter anak dan ilmuwan dari Rumah Sakit Toronto, mengungkapkan bahwa anak berusia rata-rata 18 bulan, 20 persen di antaranya menggunakan gadget atau terpapar layar kurang lebih 28 menit setiap harinya. Mereka yang terpapar layar lebih lama menunjukkan tanda-tanda keterlambatan dalam kemampuan berbahasa ekspresif.
Tidak hanya di Amerika Serikat, di Indonesia juga terjadi yang sama. Data Departemen Rehabilitasi Medik RSCM menyebutkan bahwa dari 1.125 jumlah kunjungan pasien anak, 10,13 persennya terdiagnosis keterlambatan bicara dan bahasa. Fakta ini diungkap ke publik pada saat Simposium Nasional bertajuk ‘Membaca Fenomena Speech Delay: Pendekatan Multi Pihak’, yang digelar Yayasan Akses Sehat bersama Generos pada 21-22 Mei 2022 lalu.
Dari Data Medik RSCM ini dapat dilihat kalau speeach delay di republik ini relatif tinggi. Artinya Speech delay adalah masalah serius dan genting karena dapat menyebabkan kerterlabatan pertumbuhan seperti halnya stunting.
Dalam artikel berjudul ‘Bunda, Masalah Speech Delay Sama Gentingnya dengan Stunting”, dr. Dian Pratamastuti yang merupakan Dokter Spesialis Anak mengatakan bahwa ketika anak yang sudah mengalami speech delay maka kemungkinan besar ke depannya akan ikut terlambat dalam hal apapun.
Cara Saya Membatasi Screen Time Pada Amarendra
Memiliki anak yang sudah paham gadget memang ngeri-ngeri sedap. Namun jujur kalau saya tak menyesal mengenalkan Amarendra pada gadget. Meskipun demikian saya tetap mewaspadai potensi ketagihan baginya. Awalnya memang sulit. Namun rasa sayang seorang ibu yang tidak ingin terjadi hal-hal negatif padanya memaksa saya pun membatasi screen time untuknya. Bagaimana saya melakukannya?
Mentriger Auto Off Smartphone Setelah 2 Jam Pemakaian
Mengikuti saran dan rekomendasi para ahli tentang pemakaian gadget, saya membatasi pemakaian bagi smartphone tak lebih dari 2 (dua) jam per hari. Biasanya Amarendra merengek minta main gim di smartphone sepulang dari aktivitasnya di sekolahnya (TK).
Nah, untuk membatasi pemakaiannya, saya mentriger smartphone yang akan off (shutdown) secara otomatis setelah pemakaian dua jam. Biasanya dia memanggil-manggil, bilang kalau smartphone mati. Nah, saya langsung menimpali,
“Oh, smartphonenya sudah mati ya sayang. Kasian. Mungkin baterynya habis. Dicharge dulu ya.” Kata saya.
Sholat Berjamaah ke Masjid
Ayahnya selalu mengajaknya sholat berjamaah di masjid yang hanya berjarak 50 meter dari rumah dengan berjalan kaki. Sepulang dari masjid ia diajak ke tempat favoritnya yakni di pinggir sungai untuk menanti kereta lewat.
Ya, passwordnya adalah “lihat kereta KAI’. Mendengar kalimat itu, ia pasti ikut. Ia memang suka dengan kereta api. Kalau ditanya besok jadi apa, jawabannya selalu jadi masinis kereta api KAI.
Kebiasaan ini bahkan dilakukan hingga kini kecuali kalau hujan atau ketika dia tertidur siang.
Main ke Rumah Teman Sebaya
Meskipun tidak setiap hari, untuk membatasi screen timenya, saya juga sering mengajaknya bermain ke rumah saudara atau teman sebanyanya di sekitar komplek perumahan. Ketika orang tuanya ngobrolin ini dan itu, ia asik bermain dengan permainan fisik seperti mobil-mobilan, masak-masakan, kereleng, petak umpet, dorong sepeda, dan sebagainya.
Menggambar dan Menyanyi
Aktivitas lain untuk “nglali-nglali” dari gadget adalah mengajak melakukan aktivitas yang disukai. Amarendra sendiri sangat menggambar. Obyek yang digambarnya adalah apa yang dilihatnya di youtube seperti kereta api, hewan, dan robot. Selain itu, ayahnya sering mengajaknya bermain gitar di teras rumah atau ruang tamu. Satu lagu yang selalu dinyanyikannya adalah Indonesia Raya.
Nonton Youtube di TV
Cara lain yang saya lakukan adalah memutarkan video-video kesukaanya. Yang paling disukai adalah video-video yang berhubungan dengan kereta api serta permainan gim online dari para youtuber gamer seperti AkuDav yang sering memainkan gim-gim Roblox atau Loli gaming yang memainkan gim simulator sakura Jepang. Namun ia juga sering minta diputarkan video seperti Masha and The Bear, Baby Bus, Krishna, Upin Ipin, atau Vlad and Niki. Yang seperti itu.
Bila Anak Mengalami Speech Delay Karena Screen Time Berlebih
Setiap orang tua pasti menghendaki anaknya tumbuh sehat tanpa ada gangguan apapun, termasuk mengalami speech delay. Namun pertanyaan adalah, apa yang harus dilakukan orang tua ketika anak sudah mengalami speech delay entah karena screen time berlebih atau karena sebab-sebab lain?
Pertama, tentu saja anak harus menjalani terapi. Terapi bisa dilakukan secara mandiri oleh orang tua dan seluruh anggota keluarga. Langkah pertama adalah menjauhkan anak dari gadget dan televisi.
Selain itu anak harus sering diajak berbicara dan menanggapi perkataanya. Ajukan juga pertanyaan-pertanyaan yang mendorongnya. Membacakan buku-buku cerita atau mengenalkannya dengan nama-nama benda juga menjadi terapi yang baik bagi anak dengan speech delay.
Kedua, support anak dengan supplemen pendukung yang mampu mempercepat proses mengatasi gangguan speech delay. Salah satu contohnya adalah Generos. Generos merupakan produk herbal vitamin anak yang dapat mengatasi gangguan speech delay atau terlambat bicara, anak autis, dan ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).
Banyak orang tua yang anaknya mengalami speech delay mengatakan Generos mengatasi speech delay secara optimal karena menggunakan 100% bahan-bahan alami dan tanpa efek samping.
Generos sebagai penunjang kebutuhan nutrisi untuk tumbuh kembang optimal anak dengan speech delay ini memiliki 5 (lima) kebaikan bahan alami seperti DHA yang menstimulasi syaraf otak anak, Omega 3 dan protein albumi untuk meningkatkan daya ingat neuron otak anak, berbagai vitamin yang mampu melindungi sel otak yang berperan penting untuk perkembangan otak anak, antioksidan yang meningkatkan kinerja otak dan imunitas, serta zat-zat alami lain yang mampu mencegah dari bakteri jahat dan merangsang kecerdasan otak serta nafsu meningkatkan nafsu makan.
Amankah Generos? Saya pikir karena telah lolos uji Badan POM (1936332010 dan Halal MUI (121300070212190), Generos sangat aman digunakan.
Tentu saja dengan dosis yang dianjurkan misal 5 tetes untuk anak di bawah 1,5 tahun, maksimal 10 tetes untuk anak 1,5 tahun – 6 tahun, 14 tetes maksimal untuk anak 7 tahun – 16 tahun, dan untuk anak berumur 17 tahun lebih maksimal 20 tetes. Semuanya 2 kali sehari pagi dan sore. Dan untuk hasil terbaik Generos disarankan diminum 15 menit sebelum makan atau 15 menit setelah makan.
Nah, itu dia 5 (lima) cara saya membatasi screen time pada anak. Feel free saja untuk mencobanya. In Sha Allah Berhasil. Well, terima kasih telah membaca artikel ini. Semoga bermanfaat.