JUST STORY
Saat Lehman Brothers, MGM, Kodak dan perusahaan-perusahaan besar di dunia menyatakan bangkrut pada kurun waktu tahun 2008 hingga 2012, dunia seperti mendengar geledek di siang bolong. Bagaimana mungkin perusahaan-perusahaan besar berumur ratusan tahun dengan aset milyaran dollar itu bisa mengalami kebangkrutan.
Runtuhnya perusahaan-perusahaan besar itu pun seperti virus, menginfeksi ke berbagai belahan dunia. Buktinya, tak lama setelah banyak perusahaan dalam negeri mengalami nasib serupa, atau setidaknya terus menerus merugi.
Di berbagai tempat, dari mulai angkringan, warung kelontong hingga perusahaan-perusahaan retail punbanyak yang tutup. Dealer-dealer motor yang awalnya laris manis, boro-boro menjual motor ia malah menjual dealernya ketimbang motornya. Apa yang sebenarnya terjadi?
Berbagai analisa pun bermunculan. Namun hampir semua analisa merujuk pada satu kesimpulan kalau banyak perusahaan mulai runtuh dan berguguran karena tak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan jaman yang semakin digital di bawah panji-panji internet.
Dengan bahasa yang lebih santun, ketika angin perubahan bertiup begitu kencang, kebayakan dari mereka malah membangun tembok tinggi untuk menghadang angin ketimbang mendirikan kincir. Seperti itu.
Nah, kejadian puluhan tahun lalu itu adalah pembelajaran berharga bagi para pelaku usaha bahwa tak ada yang abadi di dunia ini selain perubahan itu sendiri. Maka, sekecil apa pun usaha, upaya menyelaraskan diri dengan perubahan adalah cara terbaik agar tetap survive. Bagi yang tak bisa mengantisipasi pasti terhenti. Dan Itu saya alami.