Akhir-akhir ini saya sering dibuat geregetan sama Ayunda. Anak perempuan saya satu-satunya yang masih duduk di bangku SMP ini sudah mulai “nyengiti”. Ia mulai suka marah-marah, ngambek gak jelas dan selalu saja membantah bila dinasehati. Ada saja alasannya. Kadang, justru ia yang “menceramahi” orang tua dari pada sebaliknya.
Sebagai orang tua, saya merasa ada yang aneh dari Ayunda. Mungkin ia telah mendapat pengaruh buruk dari pergaulan onlinenya, walaupun saya sendiri masih belum begitu yakin.
Saya agak sedikit tenang ketika mengikuti kelas parenting melalui group WA yang diinisiasi oleh POMG (Persatuan Orang Tua Murid dan Guru) di sekolahnya. Ternyata bukan hanya saya saja yang mengalami hal ini, namun juga dialami sebagian besar orang tua yang mempunyai anak perempuan ABG.
Dengan kata lain, apa yang dialami anak perempuan saya adalah hal yang lumrah.
“Anak perempuan yang sudah memasuki usia pubertas kecenderungannya begitu, Bunda. Itu normal kok.” Kata orang tua lainnya.
Walaupun hal itu normal, namun saya tak ingin perubahan itu menjadi keterusan sehingga ia lupa dengan tata krama. Tak terbayangkan kalau ini terjadi. Mungkin akan menjadi penyesalan saya seumur hidup karena gagal mendidik anak dengan baik.
Menahan Diri Untuk Tidak Hilang Kesabaran
Di antara hari-hari yang telah disibukan dengan aktivitas ekonomi yang melelahkan, sebenarnya sangat manusiawi kalau orang tua hilang kesabaran menghadapi sikap anak yang mulai suka melawan orang tua. Begitu pula saya.
Jujur, ada kalanya saya pun ingin marah dan menghukumnya. Namun, hati ini selalu bilang kalau anak seusia itu belum sepenuhnya memahami dirinya sendiri. Ia masih dalam tahapan mencari-cari jati diri. Ia hanya merasa sok sudah gede saja dan tak mau diatur-atur. Emosianya meledak-ledak seperti magma yang ada di perut bumi.
Sebagai orang tua, saya menyediakan ruang-ruang berisi kesabaran yang menahan diri untuk tidak melakukannya. Memarahinya hanya membuang-buang energi, pikir saya.
Andaikan saja saya memarahi atau menghukumnya, toh juga enggak ada jaminan Ayunda akan menurut begitu saja. Bisa jadi ia malah tambah berani. Wah bisa tambah panjang urusannya kalau begitu. Ya, saya tahu betuk wataknya itu keras, lebih keras dari kakaknya.
Tentang menghukum dan mendisiplinkan anak, coba baca artikel bagus di The Asian Parenting Indonesia, yakni situs parenting terbesar di Asia dan salah satu blog parenting terbaik di Indonesia, yang berjudul “Apakah Perbedaan Menghukum Anak dengan Mendisiplinkan Anak”
Langsung Menegurnya
Yang saya khawatirkan dari perubahan sikap tersebut adalah terus berlanjut dan menjadi kebiasaan. Saya tak akan membiarkan itu terjadi. Maka, secara spontan hal yang saya lakukan tentu saja langsung menegur dan menasehati bahwa apa yang dilakukan itu tak pantas, tak sopan dan tidak mencerminkan sebagai anak yang berakhlak dan sebagainya. Begitu yang biasa saya katakan.
Namun melihat wataknya yang keras, sedapat mungkin saya menggunakan bahasa yang santai, halus, lembut dan bisa diterima oleh logika dan pemikirannya. Dan yang paling penting adalah tidak membuatnya merasa tersinggung. Biasanya endingnya pelukan, itu pasti!

Memberi Kebebasan Dengan Kesepakatan Tertentu
Saya mencoba memahami kalau ia butuh aktualisasi diri dengan segala apa yang dipikirkannya. Menurut saya energinya memang harus disalurkan kepada hal-hal positif dengan pengarahan yang tepat dari orang tua.
Maka, hal kedua yang saya lakukan adalaah membebaskannya melakukan apa pun yang ia ingin lakukan, namun dengan kesepakatan tertentu yang disepakati bersama. Misal saja, main game hanya boleh 2-3 jam sehari. Nonton film, membuat sketsa animasi dan menekuni hobi yang lainnya juga tidak boleh melebihi waktu yang telah disepakati.
Saya juga menyetujui ia boleh membuka laptop dan menulis cerita namun setelah mengejakan semua tugas-tugas sekolahnya dan langsung ambil wudhu ketika mendengar suara azan.
Hobi menulis cerita ini yang paling banyak menyita waktu Ayunda. Ia betah berlama-lama di depan laptop yang membuat saya khawatir dengan kesehatan ginjalnya. Ya, ia memang mempunyai cita-cita menjadi penulis buku. Saat ini ia sudah memliki 6 karya buku (solo dan antologi) yang diterbitkan oleh penerbit mayor kusus buku anak-anak.

Memperlakukannya Tidak Seperti Anak Kecil Lagi
Saya juga pernah mengalami kondisi seperti Ayunda, kondisi pubertas yang memberi impact seolah sudah besar dan bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Itu tidak salah dan penting bagi saya berempati atas perubahan-perubahan yang terjadi
Maka, satu hal penting yang terus coba saya pupuk adalah tidak lagi memperlakukan ia seperti anak kecil lagi. Saya mengubah pola didik dan asuh dengan lebih mengedepankan ajakan, memberi contoh dengan tindakan langsung ketimbang memberi perintah.
Selain itu, saya perlahan-lahan saya mengajarinya menjadi pribadi yang independen dan terbuka, menjadi pendengar yang baik dan mengajarinya sikap-sikap postif lainya. Saya sering menceritakan hal-hal rahasia perempuan kepadanya. Tujuannya saya adalah agar ia tidak merasa lagi diperlakukan seperti anak kecil.

Akhir Tulisan
Nah parents, itulah pengalaman empiris menghadapi anak perempuan saya yang mulai suka membantah, melawan, merasa sudah besar, dan sulit berdamai dengan perintah orang tua karena memasuki masa-masa pubertas
Terima kasih telah meluangkan waktu membaca artikel ini, semoga bermanfaat ya.
Sebelum berlalu, lihat video menarik berikut ini,
