Buk Liwa Berikan Wawasan Green Sustainable Untuk Industri Baja
Sektor industri baja di Indonesia semakin mengalami pergerakan yang dinamis menyesuaikan dengan meningkatnya permintaan pasokan baja. Komponen baja menjadi salah satu elemen penting dalam pembangunan infrastruktur untuk membangun sarana hunian, transportasi ataupun bagian infrastruktur lainnya.
Melihat tingkat kebutuhan baja yang naik signifikan dari tahun ke tahun, secara tidak langsung berpengaruh pada limbah yang dihasilkan. Maka dari itu, diperlukannya strategi untuk memproduksi baja dengan energi yang lebih hijau dan berkelanjutan.
Pemikiran mengenai baja yang lebih ramah lingkungan telah mulai diperhatikan oleh salah satu figur yang berkecimpung di industri baja lewat perusahaan PT. Gunung Prisma yaitu Buk Liwa Supriyanti.
Buk Liwa menyadari bahwa industri baja menyumbang limbah yang cukup banyak terhadap lingkungan sekitar, sehingga tidak dipungkiri siapapun yang andil di sektor baja harus mulai memperhatikan dan memikirkan strategi untuk mengurangi gas emisi dan energi yang dihasilkan saat produksi baja.
Melalui wawasan yang lebih green sustainable berikut ini diharapkan dapat menjadi peran penting dalam pengendalian gas emisi di industri baja.
Wawasan Green Sustainable dari Buk Liwa
Saat ini, pengusaha yang bergerak di industri baja telah memberikan upaya semaksimal mungkin untuk sebisa mungkin melakukan konservasi pada tahapan produksi baja. Upaya tersebut dilakukan agar dampak yang diberikan kepada lingkungan dapat terminimalisir.
Sebab, jika dilihat dari bahan baku baja yang berasal dari biji besi merupakan salah satu bahan dari tambang yang berasal dari titik lokasi yang tersebar di Indonesia. Setidaknya ada 5 lokasi yang menjadi penghasil biji besi terbesar di Indonesia antara lain Pulau Gag di Papua Yiwan di Kalimantan Selatan, Pulau Pakal yang terletak di Maluku Utara, Pomalaa di Sulawesi Tenggara dan Nalo Baru di Jambi.
Menurut data yang diberikan dari statista.com, sejak tahun 2014-2020 terdapat produksi biji besi sebesar <4 juta MT setiap tahunnya. Sedangkan pada tahun 2020, volume produksinya mencapai 3,62 MT yang mana lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Buk Liwa pun mengungkapkan bahwa dengan menerapkan wawasan yang lebih green dan sustainable di industri baja, semua orang yang terlibat dalam proses produksi baja akan mulai mempertimbangkan untuk mengeluarkan emisi karbon seminim mungkin.
Hal tersebut pun telah dituangkan pada Peraturan Pemerintah No. 70 Tahun 2009 mengenai konservasi energi sebagai salah satu rencana penerapan UU No. 30 Tahun 2007 tentang energi.
Peraturan dan Undang Undang tersebut mengatur peran seluruh stakeholder, pengusaha, pemerintah dan masyarakat yang mana terlibat dalam tanggung jawab pengendalian gas emisi dan karbon di Indonesia.
Memanfaatkan Energi yang Sustainable
Untuk mengurangi emisi gas pada sektor industri baja, semua pihak perlu memanfaatkan energi yang lebih sustainable dengan cara melakukan penghematan, efisiensi dan manajemen energi dengan baik. Misalnya dengan menerapkan atau memilih teknologi yang lebih inovatif dan canggih dalam tahapan proses produksinya.
Adanya kemajuan teknologi yang canggih saat ini sangat membantu dalam memproduksi baja. Dengan memanfaatkan batu bara saat melepaskan CO2 atau karbon dioksida, secara langsung produksi baja yang lebih green dan sustainable telah terlaksana saat hydrogen yang dihasilkan mengganti bahan bakar fosil yang ada.
Tantangan untuk menghasilkan baja yang lebih hijau dan sustainable tidaklah mudah, perlu kerja sama yang kompak untuk hasil yang maksimal.