Apa Masyarakat Tidak Boleh Pilih Transportasi Yang Murah? – Saya prihatin sekali melihat tayangan “ontran-ontran” yang terjadi antara layanan transportasi konvensional dengan transportasi online di beberapa tempat di Indonesia.
Ontran-ontran yang hanya saya lihat di televisi itu menyisakan pertanyaan bagi saya. Kenapa sama-sama mencari rejeki halal sampai timbul benturan sedemikian rupa ?
Mbok yao ono rembug yo dirembug biar masyarakat tidak menjadi korban seperti kejadian yang menimpa satu keluarga asal Margahayu Kencana Bandung yang diamukan oknum sopir angkutan kota (angkot) gara-gara mobil keluarga tersebut disangka transportasi umum online.
Banyak pendapat bersliweran, konon ontran-ontran terjadi karena persaingan bisnis yang ujung-ujungnya cuman masalah perut. Hadirnya transportasi online dianggap penyebab turunnya pendapatan transportasi konvensional (angkot, taxi pangkalan, dsb), mematikan rejeki dan bisnis mereka.
Nah lo, siapa mematikan siapa ? Memangnya urusan rejeki itu urusan manusia, tah? Weladalah. Urusan rejeki itu urusan Sing Iso Ngecet Lombok, Sing Iso Nguyai Segoro. Manusia itu bisa apa. Menurut saya sih akar masalahnya bukan pada hadirnya layanan transportasi online seperti GoCar, Grab, Uber tetapi pada 2 (dua) hal berikut :
Perubahan
Alam itu sudah memberikan isyarat sejak dulu kala bahwa perputaran dunia pasti akan menyebabkan perubahan pada kehidupan manusia. Teknologi akan semakin maju dengan inovasi-inovasi yang memudahkah dan bermanfaat bagi manusia. Bagaimana kita mau melawan dan menghentikan teknologi ini, lha wong nyata-nyata malah memberikan manfaat bagi masyarakat, kok.
Ribuan bahkan jutaan orang merasa dimudahkan dengan aplikasi transportasi online seperti Gocar, Gojek, Uber, SayTaxi, Grab dan lain sebagainya. Di Jogja, hadirnya aplikasi ini mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi ribuan orang. Jasa mobil rental tetap hidup karena mampu menyelaraskan dengan aplikasi ini.
Seandainya angkot mau mengambil sisi positif dan mampu menyelaraskan diri dengan kemajuan teknologi saya pikir tidak sampai timbul benturan. Ide gilanya adalah urunan membuat aplikasi yang serupa atau minta pemerintah daerah menfasilitasinya. itu kalau mau online, kalau tidak minimal berbenah diri dengan layanan yang lebih baik.
Bisa jadi dikemas seperti TransJakarta atau TransJogja dengan tempat ngepool (halte) yang nyaman bagi pengguna. Ingat, masyarakat sudah semakin pintar. Tentu saja tidak mungkin lagi “dipaksa dan didekte” seperti anak kecil. Mungkin timbul pertanyaan, lha kalau penumpang angkot itu kebanyakan embah-embah dari pasar yang tidak akrab dengan teknologi apa mungkin pesan angkot secara online.
Memangnya selama ini embah-embah atau siapa saja yang tidak akrab dengan layanan transportasi online pesan GoCar, Grab, Uber, SayTaxi, kan tidak, tho ?
Terlebih itu angkot beroperasi sesuai dengan trayeknya, apa boleh nyasar sampai ke rumah-rumah penduduk yang tidak menjadi trayeknya. Menurut saya masing-masing sudah punya segmentasi tersendiri, lengkap melengkapi satu dengan yang lainnya. Aneh kalau timbul kecemburuan dengan dalih penurunan omset.
Tarif
Sekian lama masyakarat (termasuk saya) memang ‘terpaksa’ membayar tarif lebih mahal terutama bila menggunakan moda taksi. Sebagian orang malah berfikir ada praktek monopoli di beberapa tempat. Tak jarang pula menemui oknum driver yang mengenakan tarif sak geleme dewe tanpa argo. Kalau sekarang ada yang lebih murah, mudah, cepat dan transparan mengenai tarif apa ya salah bila memilih layanan transportasi yang begini. Salahkah?
Ini adalah pengalaman empiris bahwa saya itu pemakai dua jenis layanan transportasi ini, baik konvensional dan online. Tempat saya ada di Kalasan km 12,5 (arah ke Solo). Kalau ada kepentingan ke Jogja belum tentu ada taxi yang mau di order, kecuali kalau ada taxi yang mengantar penumpang lain ke arah kalasan barulah saya mendapatkannya.
Kalau tidak ada ya saya bisa menunggu berjam-jam. Tapi begitu pakai aplikasi Gocar misalnya, maksimal 5 menit mobil sudah di depan rumah. Ini karena posisi calon pengguna terdeteksi secara riil time dengan parameter sinyal terkuat yang ditangkap oleh GoCar terdekat.
Mengenai tarif. Dari Kalasan sampai ke Depok Sport Center (babarsari) kalau pakai GoCar dengan pembayaran sistem Gopay cuman Rp 18 rb tetapi kalau pakai taksi pangkalan bisa di atas Rp 30 ribu. Nah, kalau ada yang murah apa saya harus pilih yang mahal, tah. Kalau ada yang suka bayar lebih mahal itu namanya ulo marani gebuk, kata mbah sumirah tetangga sebelah.
Happy Weekend, dech !